Semangat reformasi yang bergulir 20 tahun lalu masih tersandera oleh berbagai persoalan bangsa. Masalah ekonomi, praktek korupsi makin trendy, dan lemahnya penegakan hukum masih menjadi agenda terbesar yang dihadapi bangsa kita. Demikian kata Prof. Amran Razak dalam pengantar bukunya — entah sudah yang kebetapa jumlah bukunya yang telah diterbitkannya sampai sekarang.
Yang pasti, pada masanya sebagai mahasiswa, Prof. Amran Razak terbilang aktivis berat. Tak hanya pengetahuan dan informasi yang dimilikinya sangat luar biasa meyakinkan, tapi juga jaringan relasinya pun sangat luas.
Ceritanya begini kata sang Profesor dalam buku ini: “saat aku ditarik ke rektorat Unhas (Universitas Hasanuddin, Makassar) menjadi Pembantu Rektor Bidang lll, Kemahasiswaan dan Alumni (PR lll) sejumlah pengamat dan kolumnis menilai pilihan Prof. Radi A. Gany sebagai Rektor Unhas saat itu merupakan suatu kejutan”.
Begitulah kisah sosok Prof. Amran Razak, yang mengaku sebagai mantan aktivis mahasiswa pada masanya dulu, kini menduduki jabatan penting di perguruan tinggi, atau almamaternya saat hiruk pikuk gelombang reformasi menggelinding di negeri ini.
Judul bukunya trendy juga: “98-99″ Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor”. Pilihan judul seperti itu, agaknya untuk menghindari dari kesan yang menyeramkan, misalnya jika sub judulnya ditulis: “Catatan Seorang Mantan Demonstran”.
Boleh jadi judul ini tidak menjadi pilihan, lantaran Sang Profesor pun tak hendak pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang demonstran yang tetap merasa berkewajiban untuk mengkritisi segenap kebijakan untuk rakyat yang tidak berkenan dihati nuraninya sebagai seorang aktivis yang sudah begitu dari sononya, sangat idealistik.
Sebagai penulis, kecermatan dan ketekunan Profesor Amran Razak sungguh mengagumkan. Karena memang tidak banyak seorang Guru Besar yang juga menduduki jabatan strategis di perguruan tinggi sebesar Unhas, masih mau dan sempat menekuni pekerjaan menulis lalu mengumpulkan semua catatannya itu dalam bentuk buku yang akan sangat monumental sifatnya kelak, sebagai jejak dari satu generasi yang pernah tumbuh serta ikut berperan dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara agar bisa lebih baik, sehat dan lebih beradab.
Secuil Harapan Dari Kampus Merah, sungguh mengesankan dari kerendahan hati seorang Guru Besar yang mengekspresikan rasa cintanya pada dunia kampus khususnya Unhas yang senantiasa diharap akan terus melahirkan generasi unggul yang tidak kalah dari genetasi sebelumnya.
Profesor Amran Razak pun telah membangun tradisi akademis melalui bukunya agar dapat diikuti oleh penulis berikutnya yang patut lahir dari rahim kampus atau perguruan tinggi.
Tampilan buku Sang Profesor ini sangat terkesan dibuat sederhana. Tampilannya begitu juga termasuk bahan materialnya (kertas) hingga cover dan gambar sampulnya, seakan-akan hendak mengatakan pula bahwa yang lebih penting dari semua itu adalah isinya; catatan kesaksian dari sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia ini patut dijadikan pelajaran sandingan bagi generasi berikut.
Setidaknya buku berhalaman duaratus lebih ini (214), patut jadi kebanggan civitas akademika Unhas yang tidak pernah padam perjuangannya, baik sebagai kaum intelektual maupun selaku penjaga moral dan etika bangsa, negara yang paling depan.
Begitu juga bagi warga masyarakat kampus, tak hanya Unhas, perlu ada usaha membangun budaya menulis seperti Profesor Amran Razak agar bisa lebih berharap adanya tradisi membaca dapat terus subur bertumbuh dari bilik perguruan tinggi kita.
Agaknya, untuk lebih memberi dampak positif, akan lebih elok bila dapat jadi bahan kajian atau diskusi dan bedah buku bersama alumni Unhas di Jakarta atau di daerah lainnya. Kecuali untuk memberi semangat tradisi membaca dan perbukuan, juga dapat dijadikan perekat bagi para almamater Unhas yang telah berserak di kota besar dan plosok negeri kita. Andai saja belum bisa mempersatukann alumni Unhas yang ada di seantro jagat.
*) Ditulis oleh: Jacob Ereste
Altantika Institute Nusantara – Jakarta