Sepulang dari kuburan Pa’tene mengantar jenazah almarhumah Nur Indrayati Nur Indar – isteri sohib Dr. Sudirman Saad, numpang di mobil Prado milik pak Dr. Muhammad Idris, MSi (Ketua IKA Unhas Sulbar) didampingi sang isteri Prof.Dr. Kartini Hanafi (Wakil Ketua MWA-Unhas). Entah kenapa, kami percakapkan cukup lama kondisi kesehatan Prof. Halide, sambil ‘membumbui’ profil dosen senior semasa kami – mereka hidup bersahaja, karismatik dan mengayomi.
Kabar meninggalnya Prof. Halide, hanya berselang 3 jam sepulang dari Pekuburan Pa’tene tentu saja mengejutkan. Saya tertinggal berita lantaran kecapekan – tertidur pulas seusai sholat dzuhur. Sontak kaget membaca berita berpulangnya guru dari mahaguru kami Prof. Halide. Kesedihan menggeluti diri saya karena tertinggal mengantar jenazah almarhum.
Almarhum suka memanggil saya sebagai I_Ambang (panggilan akrab khas Makassar bernama Si Amran).
Untuk mengurangi rasa bersalah, saya membaca berulang-ulang sorenya tulisan kuriositas “Mengenang Sisi Akademik Ayahku, Prof Halide” ditulis Prof. Halmar Halide – anak almarhum, opini HERALD SULSEL, 30 Maret 2025 tersaji pula di wag Dewan Profesor Unhas.
Saya mulai membaca beberapa komentar di wag Dewan Profesor Unhas seperti Rina Masadah, Acha Razak Munir, Iqbal Djawad, Bachtiar Murtala, dan Nasrum. Saya bisa ‘meresapi’ percakapan para professor tersebut. Maklum, sejak kanak-kanak saya mengenal kental perumahan dosen Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran sebagai anak Baraya, tempat bermain seusai sekolah dan masa libur. Saya pun ikut nimbrung …..!
Saya tampilkan buku biografi Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK) – menyertakan tulisan :
“Dari awal buku ini….hingga akhir kisah, tertera nama Prof. Halide.”
Semenit kemudian Prof. Halmar Halide (anak almarhum Prof. Halide) membalasnya, “Salut Kanda, judul buku ta’ itu rada seram.”
Ulama Andalan di Kampung Baraya
Tahun 1979. Lagi semarak berdirinya berbagai organisasi remaja berbasis lingkungan/ kelurahan, kampung, lorong, dan berbasis bakat, minat, seni. Berbarengan bermunculannya kelompok remaja masjid hampir semua masjid di berbagai sudut kota Makassar. Kelompok remaja yang pertama, kemudian dikenal sebagai kelompok remaja umum. Adapun kelompok remaja berbasis masjid, sesuai namanya disebut kelompok remaja masjid.
Fenomena menjamurnya kelompok remaja sejalan berkembangnya kelompok studi di kampus. Gencarnya pemberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di dalam kampus, mendorong pentolan-pentolan lembaga kemahasiswaan meninggalkan kampus, lalu mendirikan kelompok remaja yang menjamur di luar kampus.
Banyaknya berdomisilinya tokoh mahasiswa, fungsionaris kampus Unhas di sekitar kampus Baraya, lokasi beberapa asrama mahasiswa, seperti dua asrama Sidrap—Rijang Panua dan Dua Pitue – dan asrama mahasiswa Mandar, menguatkan kehadiran kelompok remaja sekitar kampus Baraya.
Ada dua kelompok remaja di lingkungan/Kelurahan Baraya. Kelompok remaja Libara sebagai kelompok remaja umum – ‘urakan’ dimana saya jadi Ketua, dan kelompok remaja masjid berbasis Masjid Rahmatullah di Jalan Kandea, depan Fakultas Ekonomi Unhas. Ketuanya, Muhdar Tamin Chaeran.
Meskipun kelompok remaja Libara melakukan aktivitas remaja pada umumnya, tetapi terkadang juga fokus pada sentuhan rohani.
Kondisi sosiodemografi, status ekonomi penduduk Baraya, mayoritas menekuni sektor informaL – pedagang kecil, penjual buroncong dan sebagian lagi pegawai kecil serta tukang becak .
Kebanyakan anak muda dan remajanya hanya berpendidikan SD dan SMP terutama di Kandea III. Oleh sebab itu, wilayah ini termasuk wilayah dengan tingkat kerawanan sosial yang tinggi.
Lingkungan Baraya terkenal pula sebagai daerah transit berbagai komoditas khas seperti tuak. Tak heran, jika kampung ini dikelilingi lontang ballo, lapo tuak.
Di lorongku saja, terdapat dua kedai tuak. Suasana malam di lorongku, terkadang terlihat ramai berlalu lalang pelanggan kedai tuak. Begitu pula suasana malam di lorong lain di Jalan Kandea III, bagian belakang lingkungan Baraya. RW III ini juga menjadi basis utama sabung ayam di Makassar, terkadang heboh karena digrebek petugas.
Pengurus remaja Libara, kemudian mengadakan pencerahan kalbu, ceramah agama. Penceramahnya adalah para dosenku sendiri, terutama dan paling sering kami undang adalah Dr. Halide dan Jacob Maricar dan tak perlu dijemput karena jarak kompleks dosen FE-Unhas tak jauh dari lokasi. Dr.Halide memang dedengkot Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pembina IMMIM.
Pengurus Libara meminjam podium kuliah Fakultas Ekonomi Unhas, meletakkan di tengah arus lorong, memblok lorong, menghiasi seadanya sekitar panggung. Entah kenapa, setiap ceramah agama di setiap lorong selalu ramai, tidak hanya remaja pendengarnya, malah kebanyakan orangtua, ibu-ibu lorong. Ceramah-ceramah itu bagai obat flu, menyadarkan sementara diri mereka. Di sudut panggung terlihat seorang tukang becak yang berjongkok, terisak kecil tak berkesudahan sejak awal ceramah. Kelihatannya, tukang becak tersebut masih dalam pengaruh tuak, mabuk, mungkin menyesali dirinya, mengutuk kemiskinannya. Di deretan kursi plastik sewaan yang berjejer di lorong, terlihat para tamu terbanyak ibu-ibu lorong menikmati sentuhan rohani dengan santai dan hikmah. Jauh dari materi ceramah agama berisi ancaman api neraka, seperti biasa didengarnya di masjid.
Pengayom Kelompok Studi Mahasiswa
Pengalaman-pengalaman pahit dalam masa kemahasiswaan telah mengilhami kami untuk membentuk suatu kelompok studi permanen. Dimaksudkan agar kelompok studi tersebut mampu memberi masukan secara mendasar masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita. Keinginan itu semakin mendesak ketika saya untuk ketiga kalinya harus tidur dalam status tahanan rezim Orde Baru.
Ternyata medan yang kami telusuri begitu luas, penuh tantangan walaupun selama ini kami geluti dengan modal heroisme. Bagi kebanyakan anak muda heroisme tak bedanya dengan jagoan pacaran, jagoan indeks prestasi, jagoan membuntuti orang terkenal, jagoan karate, jagoan balapan, jagoan berkelahi, jagoan ceramah, jagoan reference, dan lain-lainnya.
Justru pada detik-detik demikian kami berusaha tampil membela kepentingan rakyat dari forum ilmiah, koridor kampus, kantor universitas hingga ke jalan raya kota tanpa mempertimbangkan risiko fisik dan kemampuan pengetahuan yang sepadan. Bahkan tak jarang kami belum memikirkan secara pasti apa duduk persoalannya telah menyahuti persoalan itu secara emosional. Namun suatu hal yang bisa teraih dalam setiap aksi mahasiswa bahwa kami melangkah dengan hati bening, sebab pada umumnya orang muda menghendaki agar masa depan yang mereka lewati kelak tidak berlumpur, tidak dituding oleh generasi berikutnya.
Jalur-jalur kehidupan yang kami tekuni selama ini membuat kami terpaut hingga tak mungkin lagi menghentikan langkah apalagi mundur. Ewako !
Kesadaran untuk menyatu dengan persoalan-persoalan dasar tersebut berbarengan lajunya proses-proses persoalan dunia yang berlalu tanpa berpaling. Akhirnya, terbentuklah Kelompok Studi Pembangunan (KSP) Universitas Hasanuddin yang kehadirannya disambut oleh rekan-rekan mahasiswa Ekonomi Umum (A) dengan menerimanya sebagai wadah ilmiah formal jurusan Ekonomi Umum. Berbarengan sambutan hangat dosen-dosen Ekonomi yang menyanggupi memberikan input setiap langkah ilmiah KSP.
Dr. Halide bersedia menjadi Dewan Penasehat bersama Dr.Kustiah Kristanto (almh), Basri Hasanuddin, MA, PhD., Dr. Karim Saleh (alm), Drs.Taslim Arifin, MA.
Ketika KSP mengadakan diskusi berseri untuk penerbitan buku Teori dan Kebijakan Ekonomi : Menuju Ke Satu Arah”, Dr. Halide menjadi salah seorang nara-sumber menyajikan topik : Masalah Penduduk dan Konsumsi Pangan.
Sejak mahasiswa kami sudah menerbitkan buku, dan bukan sekadar editor tetapi juga memberi kontribusi pemikiran dalam bentuk makalah pada setiap diskusi terbuka.
MPM : Cikal bakal Mesjid Kampus
Ada kegelisahan yang berakar dari ketiadaan ruang sholat yang memadai ditengah padatnya perkuliahan di Kampus Baru – Tamalanrea. Setiap jumatan kami menggelar sholat jumat di sepanjang selasar Lantai 2 FIS-1 dan FIS-4. Khotbah pun menjadi langganan Dr.Halide dan sejumlah dosen senior lainnya.
Suatu ketika, kantor Badan Perwakilan Mahasiswa (BPK) Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (FIISBUD), dimasuki maling dan mengobrak-abrik sejumlah inventaris. Kejadian itu menimbulkan protes keras, apalagi ruangan lembaga kemahasiswaan hanya ditempelkan pada tembok permanen gedung dengan bungkusan tripleks tebal sebagai sekretariat. Kami merasa, ini adalah ‘pelecehan” terhadap lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa demo dan meratakan ruangan BPM FIISBUD. Saya sebagai Ketua BPM dijemput hangat dengan deretan motor trail dari Laksusda/Pangkokamtibda Kodam XIV Hasanuddin sebagai ‘langganan’ mereka. Saya mendekam hanya sehari dalam tahanan karena perjoangan DEMA-Unhas.
Di masa Dr.Kustiah Kristanto menjadi Dekan FIISBUD, kami diberi ruangan satu kelas sebagai Mushalla. Inilah cikal bakal berdirinya Mahasiswa Pencinta Mushalla (MPM) yang terus diayomi Dr.Halide dan difasilitasi pimpinan Fakultas. Jejaring MPM adalah Dewan Dakwah Islamyah Indonesia (DDII) dan Mesjid Salman – ITB. Ketika Menteri Daoed Joesoef masuk kampus, Mushalla ini ‘dihilangkan’ jejaknya.
‘Dewa penolong’ – Skripsiku
Skripsiku berjudul “Industrialisasi dan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia (1973-1984)” pun kuajukan. Pembimbing skripsiku: Prof. Basri Hasanuddin, M.A., Ph.D. selaku pembimbing satu dan Prof. Dr. Sam F. Poli selaku pembimbing 2. Keren banget, mahasiswa S-1 “nakal” tapi pembimbingnya profesor.
Saat-saat akhir penulisan skripsiku, ternyata ada hambatan menghadang, pembimbing II-ku dilantik jadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar RI, Australia.
Aku menghadapi kesulitan baru, karena harus konsul akhir skripsiku dengan Prof. Sam F. Poli. Alhamdulillah, sebelum Prof. Sam berangkat ke Australia, masih sempat mengoreksi dan mengesahkan skripsiku.
Naskah skripsiku diantarkan khusus oleh Prof. Halide ke Jakarta, agar bisa dikoreksi dan disahkan Prof. Sam F. Poli di ibukota negara.
S & K berlaku
Suatu hari jelang siang, setahun kemudian. Tepatnya bulan Agustus 1985, saat penerimaan dosen baru Unhas dimulai. Aku berpapasan Pak Nasry (Nur Nasry Noor), di lorong dalam Kantor Pusat/Rektorat Unhas persis ke arah ruangannya. Waktu itu Pak Nasry sebagai PR III bidang Kemahasiswaan dan Alumni.
Pak Nasry menyapaku. “Apa kamu bikin mondar-mandir di sini? dan cuma bercokol di Wisma HMI Botlem?
Lebih baik kamu pergi mendaftar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) di belakang.” Lanjut Pak Nasry membujukku. “Kita memang butuh sarjana-sarjana nonmedis termasuk sarjana ekonomi,” tandas Pak Nasry.
Aku disuruh menghadap Pembantu Dekan II FKM-Unhas untuk mendaftarkan diri sebagai calon dosen FKM Unhas. Bagiku, FKM itu fakultas baru (apalagi memang baru didirikan – 1982), di mana seluruh dosennya dari Fakultas Kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM), mereka umumnya dosen senior.
Seusai menghadap Dekan FKM-Unhas, aku pergi mengambil formulir pendaftaran calon dosen di Bagian Kepegawaian Unhas. Beberapa hari kemudian ujian calon dosen Unhas dilaksanakan di Aula Fakultas Kedokteran.
Sebulan kemudian, hasil tes calon dosen sudah diketahui, siapa-siapa yang lolos tes. Aku sendiri tidak tahu, seandainya dokter Alwy Mappiasse tak menemuiku.
Alwy berkata penuh cemas, “Sebenarnya berat menyampakan kabar ini tetapi sebagai sahabat, saya harus menyampaikannya “. Namamu tidak tercantum dalam stensilan undangan melengkapi berkas dari 97 orang,” lanjut Alwy dengan wajah lesu berbalut sedih. Alwy pun menganjurkan untuk bergerilya secepatnya, mencari jawaban lain dari kemelut ini.
Malam itu, aku tidur di rumah Alwy di Jalan Pa’jenekang. Kami berdiskusi hingga subuh, apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Siapa yang harus dihubungi dalam situasi tak pasti ini?
Seusai shalat subuh dan berdoa cukup panjang dan khusyuk’, aku berusaha menguatkan diri untuk melakoni langkah-langkah yang harus kulakukan.
Langkah pertama; aku lakoni yaitu mengunjungi rumah Pak Nasry di Jalan Gunung Bulusaraung, tidak jauh dari rumah Alwy. Pagi itu aku bergegas berjalan ke arah barat menelusuri Jalan Gunung Bulusaraung searah Lapangan Karebosi.
Pak Nasry ternyata baru saja pulang berolahraga pagi dari Karebosi, dia sedang membersihkan mobil jip Toyota hartop warna coklat kesayangannya.
Perlahan aku menghampirinya, menyapa dan menyampaikan bahwa namaku tidak tercantum dari sekitar 97 orang yang diminta melengkapi berkas.
Pak Nasry tersentak – segera menghentikan membersihkan mobilnya. Sepintas terlihat keringatnya yang mengucur seusai olahraga dan membersihkan mobilnya kini bertambah karena mendengar penuturanku.
”Kenapa bisa begitu?” Sambut Pak Nasry dengan kening sedikit berkerut tak percaya, sembari mempersilakanku duduk pada kursi di beranda rumahnya.
Pak Nasry tak bisa menyembunyikan rasa kesal lalu bekata: “Inilah saatnya kau demo, membela hakmu,” ujarnya mulai ketus.
Setelah menikmati secangkir kopi panas dan mengadukan nasib pada Pak Nasry, Aku pun pamit. Pak Nasry memintaku agar tetap bersabar dan berdoa. Ia berjanji akan memberikan perhatian khusus dan memperjuangkannya.
Langkah kedua, menemui Prof. Halide. Aku menuju kompleks dosen Fakultas Ekonomi di Jalan Kandea, lalu menemui Prof. Halide. Aku diterima di ruang tamu Prof. Halide.
Aku memulai percakapan menjelaskan bahwa diriku tidak lolos lagi sebagai calon dosen FKM-Unhas, padahal menurut Prof. Halide hasil ujianku cukup baik.
“Kenapa bisa?” Tanggap Prof. Halide.
Prof. Halide pun mengatakan: “Saya sudah menyampaikan ke Pak Rektor bahwa saya bimbing khusus kamu untuk mendalami dan mengajar Ekonomi Kesehatan (health economics) karena itu ilmu baru yang lebih spesifik dalam bidang ilmu ekonomi.”
Setelah mendengarkan penjelasan, Prof. Halide yang menganjurkan aku sebaiknya langsung menghadap Rektor. “Kalau begitu sisa Rektor yang bisa menolongmu. Kau ke sana saja menghadap dan menjelaskan keinginanmu yang sesungguhnya kenapa mau jadi dosen. Nanti saya telepon beliau.” ujar Prof. Halide sambil meminta diriku sabar dan berdoa.
Harapan mendapatkan dukungan Prof. Halide untuk memproteksi diriku, cukup tinggi. Prof. Halide kunilai memiliki integritas tinggi dan punya kedekatan sohiban dengan Rektor Unhas, Prof. Fachrudin.
Aku pernah mendengar kalau mereka itu “empat serangkai” termasuk Prof. Rahman Rahim, Nur Abdul Rahman. Semasa kecil ngaji bersama di sekitar Jalan Muhammadiyah, Makassar. Tetapi yang pasti, mereka berempat adalah elite HMI di masanya, kuharap keampuhan “hijau-hitam” terjelma. YAKUSA !.
Langkah ketiga; segera kulaksanakan anjuran Prof. Halide menemui Rektor Unhas di rumah dinas — Jalan Kartini, sore hari. Ketika tiba di rumah jabatan, Pak Rektor belum kembali. Aku menunggu hingga malam hari. Malamnya, Rektor Unhas Prof. Fachrudin menerima kedatanganku di taman halaman belakang rumah rektor, dalam suasana yang cukup santai.
Aku kembali menjelaskan persoalanku bahwa namaku tidak tercantum dalam panggilan untuk melengkapi berkas calon dosen muda.
Rektor Fachrudin mencoba membimbing dan mengarahkanku, memberi penjelasan yang cukup gamblang mengenai visi dan misi Unhas ke depan, kebijakan-kebijakan yang akan dia tempuh dalam masa kepemimpinannya. Prof. Fachrudin berharap aku bisa membantunya kelak.
Setelah bercakap cukup lama, rektor pun mengatakan akan menanyakan masalah diriku ke Bagian Kepegawaian, besok pagi di kampus.
Aku pun pamit.
Meskipun sudah ada sedikit kepastian yang melegakan, rasa cemas masih terus menggelayuti hati dan pikiranku. Aku melangkah sedikit tegar meninggalkan kediaman Rektor Unhas, malam itu.
Aku kembali ke lorongku, dengan hati yang sedikit lega. “Mungkinkah, esok masih ada harapan ?”
Besoknya, Prof. Fachruddin mengetahui kalau hasil wawancaraku dari tim Fakultas Ekonomi terdiri atas PD I dan PD II tidak disertakan dalam kelengkapan hasil tes dosen baru Unhas 1985.
Rektor Unhas Prof. Fachruddin meminta diriku untuk segera menghubungi Dekan Fakultas Ekonomi dan Purek I bidang Akademik.
Meskipun aku melamar jadi dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), namun tes wawancara diriku diikutkan di Fakultas Ekonomi karena aku Sarjana Ekonomi. Aku sempat berpikir, “Dengan melamar di FKM, maka aku tak lagi berurusan dengan fakultasku.” Kenyataan berkata lain, aku harus menjalani penghindaran itu.
Aku diterima dengan menulis ‘pernyataan bertaubat’ di atas kertas segel. Pak Rektor bilang ini jaminan saya terhadap mereka yang ‘masih khawatir’ padaku.
Prof. Amran – Prof. Halide
Sebelum berakhir masa jabatan PR III, saya mulai aktif menyelesaikan studi Doktoral di Pasca Sarjana Unhas. Saya masih harus meneliti dan menulis hasil penelitian sebagai syarat disertasi.
Alhamdulillah, akhirnya bisa menyelesaikan Doktoral setahun kemudian.
Baru dua bulan selesai studi, ijazah pun belum tersentuh, tiba-tiba Prof Halide mencari dan menelponku.
“Amran, kau mau jadi Professor ?”
“Iyye, Prof. Siapa yang tidak mau menjadi Jenderal penuh”, semangatku.
“Tapi bagaimana caranya, Prof ?
“Temui saya”, pungkasnya.
Ternyata Prof. Halide, Ketua Tim Percepatan Pengusulan Guru-Besar. Tugas tersebut diamanahkan Rektor Radi A.Gany (alm) untuk meningkatkan kualitas jurusan/prodi dengan memiliki lebih banyak guru-besar berkompetensi tinggi.
Prof. Halide, kemudian menyodorkan hasil print lebih seratus Doktor yang berpotensi diusulkan sebagai Guru Besar Unhas. Saya lalu membaca daftar nama-nama Doktor tersebut.
Seketika terkesima dalam urutan pertama tertulis nama Mursalim, PhD. (sisa 30 kum), kedua…..nama saya (sisa 33 kum). Saya mempersiapkan berkas melengkapi pengusulan Guru Besar. Beberapa bulan kemudian, SK Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) diterbitkan Kemendikbud R.I. Kala itu, tunjangan tak jelas – ikhlas. Kini sudah lebih 20 tahun sebagai Profesor.
Selamat jalan, mahaguru sejatiku. Kebersahajaanmu jadi panutan. !
[BERSAMBUNG]