Aku merasakan sebagian masa kanak-kanakku juga hidup dalam lingkup keluarga militer. Aku punya keluarga dekat dari garis keturunan ibuku, orang Maros, yang berdomisili tak jauh dari lorongku, di lorong sebelah, 108A.
Di lorong itu, biasa berkumpul tiga bersaudara terbilang kakekku, semuanya tentara.
Ketiga tentara itu, sering kuamati perilaku mereka sebagai prajurit. Tertua bernama Sersan Nadjo, adiknya Sersan Mustain, dan adik bungsunya bernama Sersan Mustakim. Mereka mungkin yang disebut “prajurit pejuang”. Mereka tak sempat bersentuhan dengan “kenikmatan” dwifungi ABRI.
Secara historis, konsep dwifungsi ABRI tidak terlepas dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia.
Eksistensi ABRI sebagai kekuatan sosial dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya itu, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya ketika itu diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/ PKI.
Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik.
Konsep dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai:
“Jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama- sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang Hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”(1)
Berlandaskan pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang Hankam, namun juga non-Hankam.
Sebagai kekuatan Hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pem- bangunan nasional.(2)
ABRI sebagai kekuatan sosial, setidaknya ada dua fungsi yang dimilikinya.
Fungsi tersebut ialah fungsi dinamisator dan fungsi stabilisator. Identitas ABRI sebagai pejuang dan kemanunggalannya dengan rakyat secara otomatis mendorong serta menjadikan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator(3) dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsi tersebut dalam tindakan-tindakan konkret terutama pendekatan teritorialnya.
Pemahaman esensial terhadap dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI).
Ada dua aliran profesionalisme militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru.
Profesionalisme lama, berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan pertahanan dan keamanan (Hankam). Di sisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru di mana militer tak hanya berperan dalam bidang Hankam, namun juga non-Hankam.(4)
Konsep profesionalisme baru beranggapan bahwa negara-negara berada dalam keadaan perang semesta.
Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan di mana negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam. Ancaman dari dalam negeri bersumber dari permasalahan sosial dan politik.
Untuk memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi di mana seluruh potensi yang ada dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan.
Kunci dari strategi itu adalah bersatu padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, tau tidak terpisahnya dimensi hankam dan non-hankam dalam pengelolaan negara.(5)
Berdasar pada kunci dari strategi tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya, baik dalam bidang Hankam maupun non-Hankam.
Ketika kita melihat strategi dari ABRI sendiri, kita akan menemui bahwa mereka menganut konsep pertahanan semesta. Di samping itu, terlihat sangat sesuai dengan konsep dwifungsi ABRI.(6)
Dalam pelaksanaannya, dwifungsi ABRI didasarkan pada beberapa undang-undang yang menjadi landasan legal formal berlakunya konsep tersebut.
Pengaturan dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional.
Pada era Orde Baru, undang-undang yang mengatur dwifungsi ABRI antara lain Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilih- an Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/ MPR/1978, UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara.
Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUD 1945 yang kuat dan sentosa. (UU No. 16 Tahun 1969).
ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara (Tap MPR No. IV/MPR/1978). ABRI berfungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial (UU No. 20 Tahun 1982 Pasal 16).
ABRI sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(UU No. 20 Tahun 1982 Pasal 28 ayat 1). Dalam melaksanakan fungsi tersebut ABRI diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional (UU No. 20 Tahun 1982 Pasal 28 ayat 2).(7)
Ada beberapa faktor yang mendorong militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional, ambisi mempertahankan privilege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh, dan menggunakan anggaran pertahanan serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.(8)
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten.
Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), di mana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI.
Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, dengan gerakan ABRI Masuk Desa (AMD) dan program Manunggal ABRI-Rakyat.
Saat itu, pandangan pihak militer terpecah dalam dua kelompok, meski keduanya tetap menganut sifat antipartai.
Kelompok pertama adalah kelompok berhaluan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai.
Kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara gradual – bertahap dan alami. Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya, jika menempuh pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui Pemilu.
Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik (Golkar, PPP, dan PDI) sepanjang era Orde Baru. Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti Pemilihan Umum.
ABRI-BIROKRAT-GOLKAR (ABG)
Keterlibatan ABRI di bidang eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Misalnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat (DPP).
Selain itu, hampir di seluruh Dati I/provinsi dan Dati II (kabupaten/kota) jabatan Ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pimpinan Golkar di Munas III (20-25 Oktober 1983) untuk periode 1983-1988, juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer. Bahkan masa itu, setiap pegawai negeri sipil (PNS) punya kartu anggota Golkar. Kekuatan Golkar bersumber dari unsur ABRI- Birokrat-Golkar (ABG).
Selain dalam bidang eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam bidang legislatif.
Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI.
Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif.
Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom.
Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.
Kebijakan dwifungsi ABRI menimbulkan dampak negatif sebagai konsekuensi pelaksanaan dwifungsi ABRI, antara lain berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat.
Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Terlihat dari banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari bupati/walikota, gubernur, pejabat eselon I, menteri, bahkan duta besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”.
Selain dibentuk Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung penyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu.
ABRI berkedok yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
Hal ini terjadi karena Soeharto melakukan pendekatan patrimonialisme (9)dalam menjalankan pemerintahannya. Soeharto menempatkan banyak jenderal dalam berbagai posisi strategis dalam pemerintahan.
Soeharto berupaya membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elite dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jenderal khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah.(10)
Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif.
Dominasi dwifungsi ABRI tersebut, menimbulkan dampak yang buruk. Dampak tersebut antara lain:
(a) Kecenderungan ABRI untuk bertindak represif dan otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI.(11)
Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI.
Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya masing-masing;
(b) Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan.
Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat; dan
(c) Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen.
Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi.
Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.(11)
DAGELAN POLITIK
Lebih ironis lagi dengan adanya dwifungsi ABRI, praktik- praktik nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia.
Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing.
Dengan pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya, baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI ini berusaha untuk memperluas usaha sanak saudaranya.(13)
Posisi dwifungsi ABRI tak bisa dimungkiri mengekang kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah.
Meski di sisi lain, dapat menciptakan stabilitas politik yang mampu mendorong keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Hal ini dapat kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang secara tegas memosisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah.
Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI bisa berjalan mulus. Jadinya, sidang-sidang DPR/MPR tak lebih sebagai “dagelan politik” seakan berusaha menyaingi lawakan Srimulat.
Pleidoi Indro Tjahyono, mahasiswa ITB, Indonesia di Bawah Sepatu Lars, (13) secara gamblang menyatakan bahwa kebobrokan yang terjadi di republik tercinta ini disebabkan oleh terlalu dominannya ABRI dalam pemerintahan.
Adapun Rusli Karim mengemukakan bahwa salah satu sebab lumpuhnya partai politik ialah karena dominannya militer.(14)
Begitu dominannya ABRI dalam sel-sel kehidupan bangsa, sela-sela kampus pun tak luput dari intaian mereka. Hal ini sering membuat Wahab Suneth kesal, lalu ditulisnya bahwa kegiatan- kegiatan bersifat akademis di Kampus Unhas, tak luput dari intaian pihak yang berwajib.
Para intelijen berkeliaran di dalam kampus dan menyusup di forum-forum akademik. Ada intelijen sungguhan, suruhan atau binaan, pencari muka, atau sekadar pencari jalan menguntungkan diri sendiri.(15)
LAKEKOMAE INDONESIAKU ?
Pernah di suatu malam, kami menyelenggarakan studi diskusi berjudul “Indonesia: Mau Ke Mana?” – Lakekomae Indonesia di Sanggar Andi Pangerang Pettarani, Kampus Unhas Baraya. Saat itu hujan deras tiba-tiba menggebrak Kampus Baraya, genangan air danau buatan di depan sanggar meluap setinggi paha.
Peserta diskusi justru membludak tak memenuhi ruang diskusi Sanggar A. P. Petttarani. Sebagian peserta, hanya mendengar diskusi melalui pantulan suara loudspeaker, mengintip dari kisi-kisi kaca jendela menyaksikan jalannya diskusi. Pembicaranya dosen senior Unhas : alm. Prof. Syukur Abdullah (politik), Prof. Halide (ekonomi), dan alm. Ishak Ngeljaratan (budaya). Besoknya, seusai diskusi di Sanggar A.P. Pettarani, ternyata daftar hadir pesertanya sudah berada di tangan Laksusda/Pangkokamtib Kodam XIV Hasanuddin.
Makanya, jika kami membahas tentang peranan militer khususnya dwifungsi ABRI, termasuk mengkaji pleidoi Indro Tjahyono, kami memilih berdiskusi dalam forum tertutup dan terbatas. Itu pun masih bisa jebol.
Dalam kondisi parah, merasa tak aman ketika gerak-gerik kami dibuntuti intel di mana-mana, aku gunakan “jurus kaki”. Patta Nasrah mengingatkanku kembali, bagaimana aku memakai ujung-ujung kakiku sebagai alat tulis, merangkai strategi aksi pada tanah datar yang lembut di pekarangan Sanggar A.P. Petta Rani Kampus Unhas Baraya.(16)
Bahkan menurut Patta, jurus kakiku itu, biasa kugunakan di berbagai tempat dalam situasi tak aman, termasuk menghindari bocornya strategi aksi dari kalangan mahasiswa sendiri.
Setelah merangkai suatu strategi aksi, aku langsung menghapus coretan-coretan di tanah tersebut dengan telapak kakiku bersamaan telapak kaki teman lainnya. Terhapus tak berjejak. —– Amaaan!!!
Ketika meledak peristiwa Tanjung Priok,(17) aku menulis suntai puisi untuk Amir Biki dengan judul yang terinspirasi dari inisialnya “AB”;
Kemaren
ketika balik ke tanahmu sebuah paspor kuberikan
Hari ini
sebuah paspor kutinggalkan di halaman mesjid
jihad fisabilillah (18)
Dalam konteks inilah, kami menolak dwifungsi ABRI. Kami meminta agar “ABRI kembali ke barak” (back to barracks).
Mendesak dilakukannya reformasi di tubuh ABRI/TNI.
#ceritalama
______________________________________
SUMBER : Amran Razak; Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK), Kakilangit Kencana, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hal. 124-136 (MENOLAK DWIFUNGSI ABRI)
Catatan Kaki :
(1)Soebijono, dkk. Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1997, cet. 8.
(2) Ajeng Dwiyani Khoirunnisa, dkk. Dwifungsi ABRI dalam Sistem Politik Indonesia pada Masa Pemerintahan Soeharto. Diunduh pada 21 September 2013 dari mirfana.wordpress. com/…ifungsi-abri-dalam-sistem.
(3)Integrasi ABRI dan Dwifungsi ABRI. http://sejarahkitasemua.blogspot.com/2011/04/ dwi-fungsi-abri.html, diunduh 19 Oktober 2013.
(4)Profesionalisme TNI dalam Dwi Fungsi (Militer dan Politik), rizkian.wordpress.com/… esionalisme-tni-dalam-dwi. Lihat juga: [Indonesia-L] RPK – Profesionalisme. www.library. ohiou.edu./ou.edu/…ndopubs/1999/12/27/0059.htm., 19 Oktober 2013.
(5)Lihat: Pokok-pokok Perang Gerilya (A.H. Nasution) dan Pokok-pokok Pemikiran ten- tang Perang Semesta (J.S. Prabowo). http://serbasejarah.wordpress.com/2010/08/26/ strategi-perang-semesta/.,diunduh 24 Oktober 2013.
(6)Ajeng Dwiyani Khoirunnisa, dkk. Ibid.
(7)Belakangan terbit UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI, ditegaskan dalam Pasal 6: “Prajurit ABRI mengemban dwifungsi ABRI, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik.”
(8)Kusnanto Anggoro, “Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyunting), Hubungan Sipil Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: CSIS, 1999). hlm. 10.
(9)Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa tergantung pada kapasitas penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan elite politik kunci. Patrimonialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu pendekatan yang dilakukan untuk menciptakan sebuah situasi dimana sang pemimpin dapat mengendalikan orang lain dengan menggunakan cara-cara seperti adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa.
(11)Dalam berbagai kesempatan diskusi mahasiswa tentang dwifungsi ABRI, terkadang diselingi anekdot. Salah satu anekdot paling populer adalah kisah dua jenderal memasuki masa pensiun. Jenderal A bertanya pada Jenderal B: “Apa yang engkau persiapkan jika pensiun nanti?” Jenderal B menjawab: “Saya sudah mempersiapkan 2.000 ekor sapi di ranch di desa”, jawabnya bangga. Lalu, giliran Jenderal B bertanya pada Jenderal A; “Apa yang engkau persiapkan jika pensiun nanti?” Jenderal A menjawab: “Saya hanya memelihara dua konglomerat Cina”.
(12)Bahkan “ketakutan” terhadap simbol-kekuatan ABRI, misalnya kantor militer dan polisi. Di Makassar, ada istilah “Kodi”- mi artinya jelek, bakal hancur lu, kalau sudah ditangani aparat Kodim. Kalau ditangkap polisi Sabhara, maka pasti “disambi”, dihajar dahulu, baru ditanya. Alamat kantor militer dan polisi seakan menjadi jalan angker bagi masyarakat untuk melewatinya.
(13)Ajeng Dwiyani Khoirunnisa, dkk., Ibid.
(14)Iswandi. Bisnis Militer Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
(15)Sukmadji, Indro Tjahyono. Indonesia di Bawah Sepatu Lars . Bandung: Komite Pembelaan Mahasiswa DM-ITB , 1979. Catatan: sebelumnya, aku sempat membeli kumpulan puisi Prijono Tjiptoheriyanto bersampul mobil panser – barracuda di bursa FE-UI.
(16)Muhammad Rusli Karim. Peranan ABRI dalam Politik. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
(17)Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 Septem- ber 1984 di Tanjung Priok, Jakarta yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Setidaknya sembilan orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut. Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan asas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu masjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok).
(18)Amran Razak : Kumpulan puisi Sosok Itu, DKM, 1984, produksi kelima Balance Pers Group (BPG) – Unhas.