Sang Patriot Baru BPJS Kesehatan ?  

Oleh : Amran Razak   
Guru Besar Kebijakan Kesehatan Universitas Hasanuddin, Makassar   

Kementerian Keuangan akhirnya sepakat menggunakan dana cadangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Jumlah dana yang dikucurkan sebesar Rp 4,9 triliun, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Meskipun demikian, dana yang dikucurkan Kementerian Keuangan tersebut tetap tak bisa membuat neraca keuangan BPJS Kesehatan seimbang. Defisit yang dialami penyedia layanan asuransi kesehatan ini jauh lebih besar dari bantuan dana pemerintah. Disebutkan angka defisit BPJS Kesehatan hingga tahun 2018 mencapai Rp16,5 triliun. Namun, setelah dilakukan audit oleh BPKP, nilai defisit BPJS Kesehatan turun menjadi Rp10,98 triliun. Artinya, kucuran dana dari pemerintah pusat demi menyehatkan neraca BPJS Kesehatan masih separuh dari cukup.

Pemerintah pun kembali ke rencana awal, yakni menggunakan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT). Sebagaimana diketahui, 50 persen dari cukai rokok memang bisa digunakan untuk kebutuhan prioritas daerah oleh pemerintah daerah (pemda) seperti infrastruktur dan kesehatan. Menurut rencana, sekitar 75 persen dari 50 persen dari cukai rokok itu yang akan dialokasikan ke BPJS Kesehatan. Selama ini, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau atau cukai rokok yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar dua persen. Hal ini sesuai dengan UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007 (Pasal 66 ayat 1). Dalam pelaksanaan, dana penggunaan CHT itu diatur dengan PMK. Jika target penerimaan cukai rokok pada 2017 adalah Rp148 triliun, maka setiap dua persennya dibagikan ke seluruh daerah sesuai dengan porsinya. Beberapa kota penerima DBH cukai hasil tembakau tertinggi antara lain Kudus, Malang, dan Kediri.

Salah satu alasan yang membuat pemerintah mengambil langkah ini adalah karena iuran atau kontribusi pemda juga masih lebih rendah ketimbang jumlah kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

“Dana bagi hasil cukai dan pajak rokok peruntukannya seimbang dan lebih banyak untuk supply side. Jadi seharusnya dipakai untuk memperkuat pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan untuk pencegahan,”. Supply side yang dimaksudnya adalah peningkatan kualitas pelayanan pada fasilitas kesehatan.

Disisi lain, penggunaan cukai rokok ini bisa membuat pendapatan daerah berkurang. “Karena (pendapatan asli daerah) dari rokok itu paling besar. Yang kedua, restoran,” ujar Sumarsono – Dirjen Otoda Kementerian Dalam Negeri. Dirinya berharap, pemerintah pusat sudah memiliki antisipasi agar kondisi APBD tetap sehat, salah satunya dengan pemberian insentif. Jika tidak ada insentif untuk daerah yang saat ini PAD-nya memperoleh plus minus 15 persen dari total APBD, maka akan semakin menyusut dan akhirnya bergantung pada pemerintah pusat.

Pro dan Kontra

Terlepas dari kontribusi anggaran yang dikeluarkan, penggunaan cukai dan pajak rokok dinilai bijak oleh beberapa pihak. Selama ini pelaksanaan implementasi dana DBH CHT dan pajak rokok masih mengalami banyak masalah. Sehingga, penggunaan dana DBH sebenarnya belum optimal. “Di saat yang bersamaan ada masalah pendanaan BPJS Kesehatan. Menjadikan DBH CHT dan pajak rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS Kesehatan merupakan solusi yang tepat dan cermat,”  Respons sama juga datang dari Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar. “Bahwa kretek bukan membunuhmu, tetapi kretek penyelamat rakyat terbukti. Hanya industri rokok yang bisa menutup defisit BPJS Kesehatan,” kata Sulami.

Baca juga : https://www.amranrazak.com/lakekomae-jkn-bpjs-kesehatan/

Namun, pengurus IAKMI Widyastuti Soerojo menilai sebaliknya. Menurutnya, upaya pemerintah menopang keuangan BPJS Kesehatan dengan cukai dan pajak rokok tak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau. Widya mengacu pada Permenkes 40 tahun 2016 yang menyebut pajak rokok harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lain. “Pemerintah belum berpihak pada pengendalian dan pencegahan penyakit akibat rokok. Jumlah orang sakit akan bertambah terus. Sementara 75 persen pajak rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan,” kata Widya kepada BBC Indonesia.

Kebijakan ini pun akhirnya menjadi kontradiktif. Menurut Widya, pemerintah seharusnya mencegah konsumsi rokok bukan membiayai pengobatan penyakit yang juga disebabkan oleh zat berbahaya dalam rokok. Penyakit jantung adalah satu dari delapan penyakit kronis yang jadi beban BPJS Kesehatan (Januari-Agustus 2018) paling besar. Sepanjang periode itu, BPJS Kesehatan sudah menggelontorkan sekitar Rp 6,67 triliun (51,99 persen) untuk mengganti biaya pengobatan penyakit ini.

Aktivis dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) Julius Ibrani tidak mempersoalkan rencana pemerintah menggunakan DBH-CHT dan pajak rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Hanya saja, ia meminta dana DBH-CHT dan pajak rokok hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengobatan penyakit yang disebabkan rokok. “Kalau untuk taktis oke, tapi jangan sampai kondisi dari cukai ini sendiri yang spesifik penggunaannya dan tagging anggarannya enggak boleh dicampur sama yang lain, itu menjadi buyar,” kata Julius.  Ia mencontohkan, dana DBH-CHT dan pajak rokok boleh dipakai untuk mengobati penyakit yang muncul akibat rokok, seperti jantung koroner atau rehabilitasi perokok. Julius mengingatkan, tujuan keberadaan DBH-CHT untuk mengendalikan tembakau, bukan untuk kepentingan lain. Ia tidak ingin pemerintah menggunakan DBH-CHT untuk pengobatan penyakit lain atau di luar kepentingan dampak tembakau. Lebih buruk lagi, kata dia, apabila pemerintah jadi melegalkan produksi tembakau secara massal demi menutupi semua biaya BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo menilai, pemerintah sebaiknya mengambil dana cukai, bukan dana bagi hasil DBH-CHT dan pajak rokok. Namun, ia tidak mempersoalkan pemerintah penggunaan dana DBH-CHT selama penggunaan dana proporsional. “Tidak masalah digunakan. Hanya proporsinya,”. Meskipun diperbolehkan pemakaian proporsional, Adit meminta DBH-CHT untuk BPJS Kesehatan tidak mencapai 50 persen. Ia menyarankan pemerintah menggunakan dana cukai untuk menalangi sisa defisit saja. Alasannya, dana DBH-CHT hanya Rp 3 triliyun atau 2 persen dari cukai rokok yang mencapai sekitar Rp 149,5 triliun.

Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementerian Keuangan, pajak cukai tembakau memang cukup besar dan setiap tahunnya meningkat. Misalnya, pada 2014 mencapai Rp 112,54 triliun, naik menjadi Rp 137,94 triliun pada 2016. Sementara pada tahun 2017, pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 147,72 triliun.

Adit pun meminta pemerintah pusat tidak mengambil uang pajak daerah. Menurut dia, total penerimaan DBH-CHT semestinya diserahkan kepada daerah untuk pengembangan, seperti pengelolaan tanam tembakau atau kebutuhan produksi tembakau, termasuk pupuk atau pelatihan di daerah produsen tembakau. “Jangan bebani daerah, justru karena pajak daerah menurut kami setiap daerah punya kepentingan atas pajak rokok [yang] mereka terima. Kalau kemudian JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] ini defisit, pemerintah harus mensubsidi,” kata Adit.  “Kalau mau mensubsidi [BPJS Kesehatan] pakai dana cukai yang di pusat, jangan ambil dari yang di daerah,” tegas Adit.

Upaya pemerintah menopang keuangan BPJS itu dianggap tak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau. Peraturan Menteri Kesehatan 40/2016 menyebut pajak rokok harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lain. Ada pula delapan program yang dapat memanfaatkan pajak rokok, antara lain penurunan resiko penyakit menular, peningkatan gizi masyarakat, pembangunan serta pemeliharaan puskesmas.

Baca juga : https://www.amranrazak.com/simalakama-bpjs-kesehatan/

Pengurus IAKMI, Widyastuti Soerojo, menyebut kebijakan pemerintah mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS adalah kontradiktif. Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, kata Widyastuti, pajak itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit, yang juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok. “Pemerintah belum berpihak pada pengendalian dan pencegahan penyakit akibat rokok,” tukasnya. “Jumlah orang sakit akan bertambah terus. Padahal 75% pajak rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan,” ujarnya. Pemerintah seharusnya dapat menemukan solusi lain terhadap persoalan defisit anggaran BPJS yang terjadi setiap tahun.

Selama tiga tahun terakhir keuangan BPJS selalu ‘tekor’. Pada tahun 2014 defisit anggaran perusahaan publik itu mencapai Rp 3,3 triliun. Angka itu membengkak menjadi Rp 5,7 triliun tahun 2015 dan Rp 9,7 triliun pada 2016. Adapun, dalam dua bulan terakhir kekurangan anggaran BPJS mencapai Rp 2 triliun. Hingga berita ini diturunkan, BPJS defisit itu sebesar Rp 7,05 miliar. Pada akhir 2018, BPJS Kesehatan diperkirakan akan menanggung defisit anggaran sebesar Rp 16 triliun.

“Pemerintah mencari jalan pintas untuk menutup defisit. Seharusnya bisa menggunakan sumber lain,” tutur Widyastuti.

Namun pendapat itu disanggah Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Faqih. Menurutnya, pemanfaatan pajak dan cukai rokok memang untuk kesehatan dan BPJS masuk dalam kategori itu. Daeng menuturkan, alokasi pajak tembakau untuk BPJS bukanlah pembenaran bagi produsen dan konsumen rokok. “Sama seperti asuransi kecelakaan mobil. Tidak berarti asuransi itu mempersilakan kecelakaan mobil, justru ini memperkecil resiko. Yang terjadi di dunia asuransi, termasuk BPJS, preventif untuk resiko ke depan, ada yang menjamin, bukan mendorong penyakit,” tutur Daeng.

Dalam skema Kementerian Keuangan, pemerintah akan mengambil alih 75% dari dana bagi hasil cukai tembakau yang setiap tahun disalurkan dan menjadi hak pemerintah daerah. Anggaran itu akan digunakan untuk menopang arus kas BPJS.

Dalam APBN 2018, dana bagi hasil cukai tembakau itu mencapai Rp 2,9 triliun dan menjadi hak 18 pemerintah provinsi dan 339 pemerintah tingkat kabupaten/kota.

Pajak Rokok ASEAN  Biayai Kesehatan ?

Pro-kontra Keputusan pemerintah mengalokasikan penerimaan pajak rokok guna membantu pembiayaan BPJS Kesehatan terus menghangat. Ada yang mengatakan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan merupakan bukti bahwa rokok bermanfaat bagi bangsa. Adapula di medsos yang mengambil kesimpulan bahwa pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan mendorong para perokok untuk lebih banyak lagi merokok agar BPJS Kesehatan bisa berkelanjutan.

Ternyata, pajak rokok sudah lama menjadi sumber pembiayaan untuk kesehatan. Dimasukkan melalui APBD di beberapa daerah. Pajak rokok untuk pelayanan kesehatan publik tertuang di Pasal 31 UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di pasal itu, penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling kecil 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat, dan penegakan hukum.

Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, sumbangan pajak rokok terhadap layanan kesehatan lebih besar. Dalam Perpres tersebut, disebutkan dengan jelas bahwa kontribusi pajak rokok dari pemerintah daerah adalah sekitar 75 % dari 50 % total realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian pemerintah daerah. Dengan asumsi penerimaan cukai Rp 148 triliun, maka tarif pajak rokok Rp14 triliun (pajak rokok berkisar 10% dari penerimaan cukai). Dari tarif pajak rokok itu, dana untuk menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun.

Pesona Pajak “Dosa”

Kontribusi pajak rokok atau kerap disebut ‘pajak dosa’ untuk mendanai pelayanan kesehatan publik sebenarnya bukan barang baru. Di ASEAN, sudah ada tiga negara yang menerapkannya, yaitu Filipina, Thailand dan Indonesia.

Filipina

Di antara ketiga negara itu, Filipina yang paling jor-joran mengalokasikan pajak “dosa” untuk kesehatan. Dimulai pada Desember 2012, nilai pajak dosa dari rokok dan minuman beralkohol pada tahun pertamanya menyumbang US$ 1,2 miliar. Selang dua tahun berikutnya, sumbangan pajak dosa itu bertambah menjadi US$ 2 miliar.

Dana kesehatan yang meningkat juga membuat cakupan layanan semakin luas. Sebelum ada pajak dosa, PhilHealth atau program kesehatan Filipina serba kekurangan, mulai dari dana, pekerja hingga fasilitas kesehatan di pelosok negeri.
Akibat kekurangan dana itu, layanan kesehatan yang terjangkau dan terjamin hanya mampu dirasakan 74 % dari total penduduk. Seiring dengan adanya regulasi pajak dosa, pelan-pelan cakupan penduduk yang terlayani mulai bertambah. Per 2015, layanannya sudah mencakup 82 %  atau sebanyak 100 juta penduduk Filipina.

Thailand

Pajak dosa untuk layanan kesehatan publik juga diterapkan di Thailand. Negara Gajah Putih ini merupakan salah satu pelopor di antara negara ASEAN yang mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan publik. Rencana mengalokasikan pajak dosa untuk pelayanan kesehatan di Thailand mulai dicetuskan pada 1994. Namun, rencana tersebut baru terealisasi pada 8 tahun kemudian seiring dengan dibentuknya Thai Health Promotion Foundation (Thai Health). Pada 2007, dana yang disisihkan Thailand untuk Health Promotion Fund sekitar 2 miliar baht atau setara dengan US$ 60 juta, atau 2 % dari total penerimaan pajak khusus produk tembakau dan minuman beralkohol.

 Indonesia

Seperti Filipina dan Thailand, Indonesia juga sudah lama mengalokasikan pungutan pajak rokok untuk program kesehatan. Awalnya, Indonesia menerapkan Dana Bagi Hasil (DBH) dari cukai hasil tembakau sebesar 2 % dari cukai rokok untuk pelayanan kesehatan publik. Namun, nilai yang dialokasikan untuk sektor kesehatan itu terbilang kecil. Pada 2011, nilai yang dialokasikan hanya Rp1,2 triliun dari total cukai Rp 60 triliun, dan dibagikan kepada 341 kabupaten/kota yang tersebar di pelosok tanah air.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan, pemerintah bersama legislatif menerbitkan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di dalam UU itu, diatur mengenai pajak rokok. Pada UU PDRD, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut pemerintah pusat. Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10 % dari cukai rokok. Pajak rokok itu lalu dibagikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Tidak seperti regulasi sebelumnya, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan pada UU PDRD lebih besar lantaran pemerintah daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 50 % untuk layanan kesehatan dan penegakan hukum. Semisal, penerimaan cukai rokok 2011 sebesar Rp 60 triliun, maka pajak rokok yang menjadi penerimaan pemda mencapai Rp 6 triliun. Alhasil, alokasi untuk kesehatan dan penegakan hukum dari pajak rokok mencapai Rp 3 triliun. Namun dalam implementasinya dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok masih bersoal, mulai dari masalah administrasi dan pengawasan, sehingga tidak optimal.

Stategi BPJS Kesehatan Atasi Defisitnya

Beberapa langkah strategis yang ditempuh BPJS menanggulangi defisit biaya penyelenggaraan programnya, berupa :

  1. Program promotif preventif

Penyebab lain defisit anggaran BPJS Kesehatan terjadi karena perubahan morbiditas (kejadian penyakit) penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang sakit terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena belum optimalnya upaya pembangunan kesehatan masyarakat.

Untuk mengatasi defisit, ada langkah yang dapat dilakukan. BPJS Kesehatan berfokus menjaga masyarakat yang sehat tetap sehat melalui berbagai program promotif preventif (pencegahan penyakit) yang dilaksanakan.

Sementara itu, bagi masyarakat yang berisiko menderita penyakit katastropik seperti diabetes melitus dan hipertensi, dapat mengelola risiko tersebut melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis), yang juga merupakan bagian dari upaya promotif preventif.

Hingga per Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik mencapai Rp 12 triliun (21,07%) dari total biaya pelayanan kesehatan. Padahal, berbagai penyakit katastropik tersebut sangat bisa dicegah melalui penerapan pola hidup sehat.

  1. Suntikan dana dan optimalisasi manajemen klaim

Sejumlah upaya yang sudah dilakukan BPJS Kesehatan untuk mengendalikan defisit  antara lain berupa suntikan dana dan optimalisasi tata kelola Program JKN-KIS. Selain itu, BPJS Kesehatan juga melakukan optimalisasi manajemen klaim dan mitigasi fraud, penguatan peran BPJS Kesehatan dalam strategic purchasing, optimalisasi peran FKTP sebagai gate keeper, dan penguatan efisiensi operasional.

Data BPJS Kesehatan, sampai dengan 14 September 2018, jumlah peserta JKN-KIS telah mencapai 202.160.855 jiwa. Dalam hal memberikan pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 22.531 FKTP, 2.434 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama), 1.546 apotek, dan 1.093 optik.

  1. Pemangkasan Tiga Jaminan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengurangi tanggungan jaminan kesehatan untuk persalinan, pasien katarak dan rehabilitasi medik.

Sebelumnya BPJS Kesehatan memisahkan biaya tagihan persalinan antara ibu dan anak, ke depan, pihaknya akan memisahkan biaya tagihan pada bayi baru lahir dengan gangguan. Sedangkan untuk operasi katarak, pihak BPJS akan menentukan batasan prioritas yang akan ditanggung BPJS. Jika sebelumnya operasi katarak dari ringan sampai berat semua operasi, ini yang di operasi dengan visus (ketajaman penglihatan) kurang dari 6/18. Kalau lebih bagus dari itu bukan prioritas, karenanya tidak ditanggung oleh BPJS.

Selain pengurangan biaya persalinan dan katarak, BPJS Kesehatan juga menetapkan batas rehabilitasi medik bagi pasien BPJS hanya akan menanggung  8 kali rehabilitasi medik per pasien setiap bulannya untuk semua penyakit.

Tiga layanan yang dipangkas tersebut tertuang dalam tiga aturan yang baru dikeluarkan. Ketiga aturan itu, antara lain: Peraturan Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 02 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Pelayanan Kesehatan, Peraturan Nomor 03 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Peraturan Nomor 05 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.  Pengurangan tanggungan itu dilakukan untuk menyelamatkan defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan, terdapat beberapa jaminan yang memakan anggaran cukup tinggi, seperti operasi katarak (Rp 2,6 triliun), bayi sehat yang ditagihkan secara terpisah dari ibunya (Rp 1,1 triliun), dan rehabilitasi medik (Rp 960 miliar).

Menanggapi hal tersebut, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai penerapan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 malah bisa menyebabkan biaya kesehatan nasional membengkak. Mereka meminta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencari rumusan lain dalam menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan. Ketua Umum PB IDI, Ilham Oetama Marsis mengatakan BPJS Kesehatan tak membikin aturan yang masuk pada ranah medis. Perdirjampelkes saat ini nyatanya hanya berkutat seputar menambal defisit dengan mengurangi manfaat yang diterima masyarakat. “BPJS Kesehatan sampai saat ini tidak ada hasil kerja yang positif kecuali kepesertaan yang mencapai 80 persen,” katanya.

Penerapan Perdirjampelkes justru akan menambah beban kesehatan penduduk Indonesia di masa depan. Misalnya, pembatasan pada penyakit katarak dapat membuat ribuan orang jadi tak produktif.  Akibatnya, beban kemiskinan juga akan bertambah, hingga kini, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita katarak tertinggi di Asia, yakni mencapai 250 ribu. “Risiko penyakit lain juga akan bertambah, misal dia jatuh dan patah tulang karena kebutaannya itu,” tambah Johan A. Hutauruk, dari Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami).

Soal pengaturan persalinan bayi lahir sehat, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan target menurunkan angka kematian bayi.  Di Indonesia, menurutnya, setiap tahun hampir 5 juta bayi lahir namun angka kematian bayi baru mencapai 22,3/1000 kelahiran hidup. Sedangkan negara lain seperti Malaysia telah mencapai angka 7/1000, Singapura 2/1000, Thailand 6/1000. “Target 12/1000 tak akan tercapai kalau aturan ini turun,” tandas Aman. Baginya, setiap bayi yang lahir selalu memiliki risiko kesehatan, bahkan mereka yang diprediksi lahir normal, berat badan cukup, dan sehat. “Jika bayi berisiko tak segera mendapat tata-laksana, lalu dia hidup cacat, nantinya juga akan jadi beban bagi BPJS.”

Terakhir, rehabilitasi medik yang dibatasi hanya dua kali dalam satu minggu dianggap tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri), Sudarsono, mengatakan rehabilitasi medik antar pasien tak bisa disamaratakan. “Pelayanan kepada pasien jadi terhambat dan capaiannya di bawah standar,” tegas Sudarsono tolak Perdirjampelkes tersebut.

 Catatan Tersisa     

Di masa lalu (Orde Baru), para perokok digelar ‘pahlawan pembangunan’ lantaran kontribusinya yang cukup besar dalam membengkakkan APBN melalui pajak/cukai rokok. Di masa kini (milenia) kaum perokok kembali tampil sebagai patriot BPJS Kesehatan dengan mensubsidi defisit BPJS Kesehatan. Hal ini tertuang dalam Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, tetapi dianggap solusi jangka pendek, terbilang ‘subsidi setengah hati’, hanya menutupi setengah dari defisit (hanya Rp 4,9 triyun dari defisit Rp 10,96 triyun). Pemerintah diminta membuat solusi jangka panjang mengatasi ketekoran BPJS Kesehatan tersebut. Dan kewenangan itu menurut UU berada ditangan Presiden. Jika tahun depan BPJS Kesehatan masih tekor, itu namanya …. “kebangetan”.@

Bukit Baruga – Makassar, 15 Oktober 2018