TAMALANREA : Antologi Puisi Tiga Layer



PROLOG : YUDHISTIRA SUKATANYA                                       

Puisi Cinta Dari Kampus Merah                                     Puisi Merindu                                      Puisi Perjalanan Aktivis Unhas 80-90an

                              *** 

Di suatu musim, dimasa lalu sekira tahun 1980 – 1990, sejumlah mahasiswa pernah aktiv beriteraksi di koridor, di ruang senat, di kantin, di sekretariat penerbitan koran kampus, di ruang-ruang kuliah, di selasar gedung bertingkat tanpa lift di Kampus Merah UNHAS yang berlogo ayam jantan itu. Macam-macam bisa jadi peristiwa biasa dan tak biasa di sana. Ada yang membuat koran, bulletin, main band, ada yang jadi pelapak, ada yang sekali-sekali saja datang, karena berbagai kepentingan. Juga ada yang aktiv menuliskan syair dan membukukan karya mereka (mereka itu para aktivis yang diakui sebagai penyair kampus).
Puisi adalah salah satu karya kreatif yang sejak bertahun lalu mereka gemari. Adalah jalan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan, renungannya dari waktu ke waktu. Tentang bagaimana cara menyampaikannya adalah wilayah kebebasan kreatif. Ada ungkapan cinta, rindu, marah, ada juga catatan perjalanan. Kesemuanya adalah ekspresi emosi masing-masing dalam menyikapi lingkungan, sikap sosial dan lainnya.
Karya para penyair kampus itu, di antaranya pernah terangkum dalam antologi puisi Petisi Kepada Tuhan- 28 halaman, diterbitkan oleh Yayasan Balance, tahun 1981; Puisi-puisi Dari Kampus- 182 halaman, tahun 1981; Napas Kampus-134 halaman, tahun 1994 diterbitkan oleh SKK Indentitas; Koridor- kumpulan Sajak Empat Penyair Tama-lanrea- 135 halaman, tahun 1995 diterbitkan Masyarakat Sastra Tama-lanrea.
Kenyataan ini adalah sisi lain dari dinamika kampus sebagai kawah candradimuka para tokoh mahasiswa. Tidak hanya menggodok dan mengokohkan diri mereka sebagai motor demonstrasi memperjuangan hak dan kepentingan rakyat, bangsa dan negara, tetapi sebagian dari mereka juga aktiv menempa karakternya dalam kehalusan budi dan bahasa menuju kedewasaan lewat jalur sastra.
Bertahun kemudian.
Kini, jika ada yang yang bertanya; Apa yang dapat dilakukan oleh anggota Whatsapp Group para mantan aktivis penyair kampus masa lalu itu yang kembali berkumpul, kreativitas apa yang bisa mereka hadirkan? Jawabannya mungkin beragam. Tetapi salah satu yang nyata, buku ini buktinya. Prof Amran Razak mampu memprovokasi mereka untuk menulis puisi lagi, menjadi penyair lagi.
Para penulis yang karyanya terhimpun dalam antologi ini, berlatar belakang beragam profesi. Seperti dulu juga,
boleh saja mempertanyakan apakah yang mereka sampaikan ini, sungguh puisi? Boleh setuju, boleh sebaliknya. Boleh memuji, boleh mencaci. Tetapi sesung-guhnya para penikmatnya perlu juga membuka pintu hati, membuka diri untuk membangun pemahaman dan apresiasi. Karya- karya yang terhimpun dalam buku ini dinyatakan sebagai ungkapan diri terkini masing-masing penulisnya. Melihat gaya penulisannya tentu ini adalah puisi.

Catatan dan renungan yang terungkapkan, tetap menegaskan kekhasan “penyair kampus” apa yang ada di dalam kenyataan juga diantara harapan. Ini sungguh mutiara-mutiara kata yang terpendam dan menyampaikan nilai tersendiri. Mengungkankan sikap, atas sekumpulan
ungkapan perasaan, pengalaman hidup, pergolakan pemikiran yang sudah diproses dalam tungku kontemplasi yang khusuk. Tentu kehadiran ini membuka cakrawala
pandangan yang luas. Adalah kepastian, jika kata-kata mereka tentu tidak hanya kelembutan perasaan, kebijakan, tapi juga pisau yang tetap bisa mengupas warna-warni, gelap, terang sisi kehidupan.
Para pembaca, tentu boleh berbahagia mendapatkan karya dalam tiga layer antologi yang dinamai Tamalanrea ini. Bahwa inilah rekaman selintas rekaman dokumentasi perjalanan kreativ yang belum lagi berhenti. Langkah penyair bernafas panjang dan kian menyingkapkan jati diri masing-masing dalam pengemba-raan kepenyairan. Kali ini hadir Acram Mappaona Azis (Acram), Amran Razak (BramR), Andi Timo Pangerang, Andi Sri Wulandari, Ana Mustamin (AnaHaiku), Busman, Chairul Anam, Farida Pattinggi, Ilham Anwar, Kamaruddin Azis (Denun), Mahrus Andhies, Marwan Hussein, Mohammad Hasymi Ibrahim (Ami), Rustiah Rasyid, Sudirman Numba (S. Numba), Sakka Pati, S Alam, Sri Musdikawati, Sultra Mustika, Sumarni Hamid Aly, Suta, Yudhistira Sukatanya, Yuyun-Yundhini Husni Djamaluddin. Di wag ini, hadir pula A.Yayath Pangerang, A. Akhmar, Shaifuddin Bachrum, Muhary WN,  Ahmad Musa (Uca) dan Asri Tadda. Pernah hadir lalu pamitan A. Arsunan Arsin dan Yachfaryati.
Lalu mengapa “Tamalanrea”?
Tamalanrea mempunyai dimensi dalam sejumlah layer. Tidak hanya penanda-setting lokasi namun bisa dimaknai sebagai tak pernah bosan, tak pernah putus asa, tak pernah lelah. Ya. Layer-layer yang menafasi dimensi jalinan komunikasi tak pernah henti, persahabatan tak lekang oleh waktu dan tentu semangat menulis puisi yang tak pernah padam.
Hingga kesempatan ini, bisa terbaca, bagaimana proses pematangan yang terus menerus terjadi tanpa henti.
Meski ada diantaranya yang berkata ini hanya candaan kecil.
Dan waktu telah memberi kesempatan bagi mereka untuk lagi-lagi hadir dan mengalir. Tentu sebagai penyair.
Semoga kehadiran antologi ini dari sejumlah mantan aktivis mahasiswa Unhas menjadi sumbangan nyata terhadap kegiatan literasi di lingkup Kampus Merah UNHAS atau di mana saja membacanya.

Sekali penyair-Tetap Merdeka.

Tamamaung, Panakkukang, Makassar, Oktober 2019