Tiada Hari Tanpa Teror di Tamalanrea

Makassar, Februari 1997

Kecemasan merasuki segenap penghuni perumahan dosen (perdos) Universitas Hasanuddin (Unhas) Tamalanrea dan perumahan sekitarnya. Mereka telah kehabisan akal menghadapi maraknya teror rampok di lingkungan mereka hidup.
Wasiat leluhur warisan tetua dari kampung mereka untuk menjaga dan melindungi harta mereka, terasa tak mempan menangkal teror rampok.
Didukung pula suasana kota jelang tengah malam, tak hanya dihiasi cahaya remang bola lampu warna-warni, tapi disemarakkan pula tawuran antar kelompok remaja dan pemuda di beberapa jalan utama kota. Ujung Pandang seakan mencekam kala malam hari.
Rasa aman dan tentram seakan menjadi komoditi mahal, sepertinya pengamanan tak berfungsi memberi perlindungan dan rasa nyaman warganya.
Jimat-jimat yang bergelantungan di sela-sela engsel pintu, tebaran garam di empat penjuru rumah, agar mereka yang berniat jahat tak bisa menerobos rumahnya. Adapula penghuni yang senang meletakkan ‘terbalik’ sapu ijuk di belakang pintu utama, agar pencuri atau perampok tak mengenali pintu masuk rumah mereka, seakan gelap melindungi pintu tersebut.
Seorang tetangganya menuturkan kebiasaannya, saat meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong, terutama di pagi sampai siang hari. Tetangga itu selalu membunyikan radio transistornya bergelombang tetap dengan volume terukur, sekadar memberi kesan seakan masih ada orang dalam rumahnya.
Jimat-jimat dan berbagai siasat penghuni perdos dan sekitarnya terasa sia-sia belaka.
Kondisi paling rawan ketika jelang awal ramadhan dan memasuki lebaran, banyak penghuni memilih mudik – pulang kampung. Sepeninggal rumah tak berpenghuni itu, akan menjadi sasaran empuk para pencuri spesialis rumah kosong.
Kriminalitas di Ujung Pandang dan sekitarnya mulai “mewabah”. Penjahat-penjahat brutal mulai merajalela. Perampokan terjadi hampir tiap hari terutama saat malam di daerah-daerah tertentu di perumahan-perumahan pegawai dan golongan menengah. Seperti di Tamalanrea, Sudiang dan lain-lain, tulis Prof.Dr.H.A.Muis SH di kolom KOMUNIKASI Harian Fajar bertajuk; “Masyarakat Mencari Petrus”.
Empat hari berselang, sesudah tulisan Prof. A. Muis di kolom KOMUNIKASI itu dimuat, Hasrullah dosen Fisip Unhas – salah seorang penghuni perdos Unhas Tamalanrea menulis di OPINI harian Fajar; “Surat Terbuka Buat Pangdam dan Kapolda”. Hasrullah diberondong pertanyaan sejumlah temannya dari daerah maupun yang berada di Jakarta. Terutama setelah pemberitaan RCTI dan beberapa koran lokal tentang perampokan yang terjadi di perdos Unhas Tamalanrea.
Karena teror perampokan tak kunjung reda, tiga hari berikutnya sesudah tulisan Hasrullah di harian Fajar, ia pun membuat ‘seri-kedua’ di OPINI koran yang sama “Surat terbuka II Buat Pangdam dan Kapolda” berjudul; “Tiada Hari Tanpa Teror di Tamalanrea”.

Seandainya pak Jenderal Agum Gumilar dan Jenderal Ali Hanafiah menyempatkan diri untuk bertandang sehari semalam saja di Kompleks Dosen Tamalanrea, maka akan menemukan suasana mencekam sepanjang pagi, siang, sore, malam dan subuh hari. Pintu-pintu pagar terus tergembok. Anak-anak kompleks dalam pengawasan ketat ibu atau pengasuhnya, agar tak bermain di luar pagar terutama saat legam. Di pagi hari, para dosen yang memiliki kendaraan hanya ‘memanasi” kendaraannya dalam garasi tanpa membuka pintu pagarnya. Di siang hari, para kepala keluarga penghuni kompleks yang bekerja, akan bergegas pulang sebelum jam kantor usai. Khawatir meninggalkan keluarga mereka terlalu lama. Apalagi kebanyakan warga kompleks adalah dosen muda yang belum mampu membayar pembantu padahal mereka memiliki bayi atau balita.
Cerita panjang tentang teror yang melingkupi kehidupan keseharian dosen Unhas pun akan terurai. Di beberapa blok dalam kompleks dosen Unhas Tamalanrea, ternyata sudah digerayangi pencuri/perampok, meskipun tak pernah muncul dalam pemberitaan, misalnya Blok AI dan AG. Bahkan di Blok AG telah dipreteli TV, emas dan komputer (AG 37, AG 57 dan AG 25). Ironisnya, aksi pencurian tersebut justru terjadi pada saat aparat keamanan (tertutup dan terbuka) sedang bertugas di kawasan kompleks dosen Unhas.
Aksi teror terhadap “harta cicilan” orang Unhas ternyata tak terjadi di kawasan perumahan saja, tapi telah merembes ke kampus. Di sekitar Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat dan Pascasarjana Unhas, sering terjadi pencurian motor, pencungkilan jendela dan pintu mobil lalu menggasak tape recorder dan ACnya. Bahkan di meja kantor jurusan pun, tas dosen yang berisi gaji sebulan bisa raib.
Kami penghuni kompleks dosen Unhas Tamalanrea, sesungguhnya adalah “anak bangsa” yang tersingkir ke pinggiran kota. Kami memiliki istilah “masuk kota” bila punya keperluan di pusat kota Ujung Pandang. Sebagai orang kalah, ternyata penderitaan kami belum sempurna karena setiap malam ketika mudik ke Tamalanrea, harus pula menerobos arena perkelahian kelompok di sepanjang jalan Urip Sumohardjo, Karuwisi, Panaikang dan Panakkukang. Kaca-kaca jendela mobil kami terpaksa ditutup rapat, bayi dan balita kami dipeluk ibunya dengan kencang, sementara mata kami nanar memandang sepanjang jalan yang kami lalui. Teror macam apalagi yang menimpah keluarga kami ?. Bila ada keluarga yang hendak bertamu ke Tamalanrea, mereka akan bertanya; “Apakah keadaan sudah aman ?”. Rasa tak aman, ternyata bukan monopoli warga perumahan Tamalanrea dan kawasan perumahan lainnya, kini telah merembes menjadi milik masyarakat.

Dalam era globalisasi ini, “rasa takut” yang berkepanjangan warga kompleks dosen Unhas Tamalanrea dan kawasan perumahan lainnya (BTP, Telkomas dan Sudiang) yang sudah menjurus kearah “kepasrahan” merupakan wujud “keterbelakangan” dalam berbagai dimensi pembangunan. Rasa tentram dan aman yang telah tergadai itu, justru terjadi dalam teritorial militer seperti kesatrian Kavaleri dan Linud ataupun Kantor Polda, dan hanya dua-tiga kilometer dari kantor Kodam Wirabuana.
Kondisi lingkungan kami yang penuh kecemasan dan rasa takut tersebut, justru acapkali bertentangan dengan beberapa pengalaman pribadi kami dan beberapa teman di perumahan dosen yang sempat menikmati kawasan dunia yang lebih luas. Saya merasa lebih aman bergentayangan di New York – Manhattan pada malam buta, menelusrui gang-gang kereta listrik bawah tanah di New Jersey, emper-emper pertokoan Manhattan dan sekitar Harleem. Adakalanya, pulang larut malam dengan subway orange di kawasan pecinan – cina town di Boston Massachusertts. Begitupula, saat berkeliaran sepanjang malam di daerah lampu merah Amsterdam square, menelusuri gang perkantoran dan pertokoan di deretan Den Haag – Nederlands. Dibandingkan, tinggal di dalam rumah sendiri di kompleks dosen Unhas Tamalanrea.

Ketegaran dan kesigapan serta kewibawaan aparat keamanan sedang diuji. Pemberian batas waktu terhadap pengembalian rasa aman dan ketentraman masyarakat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya adalah perwujudan dari sikap profesional aparat keamanan.
Kita percayakan sepenuhnya strategi dan taktik operasional yang akan digunakan aparat keamanan dalam menuntaskan masalah kamtibmas terutama di kawasan perumahan dan sekitarnya. Dalam jangka panjang, diperlukan penataan Simskamling secara terpadu, professional dan berkesinambungan terutama di kawasan perumahan pinggiran kota.
Sekali lagi, tindakan tegas dan tuntas dari aparat keamanan terhadap pelaku kriminal di kawasan perumahan Tamalanrea, Telkomas dan Sudiang sangat diharapkan warga masyarakat bersangkutan.
Disisi lain, sikap masyarakat yang lebih responsif akan sangat menunjang aparat keamanan menyelesaikan tugasnya. Selama ini, masih banyak warga bersikap; “Asal bukan Kami”, “Asal jangan ke luar rumah”.

Salam dan selamat bekerja pak Jenderal dan anggotanya.
Kami siap membantu setiap saat.
Allah SWT menyertai kita sekalian.

***

Dua hari setelah opini dirinya dimuat Harian Fajar, tersiar kabar kalau rumah pak RT disatroni ‘rampok’. Para penghuni tersentak, mereka bergerombol menuju TKP. Ternyata rumah tersebut lagi kosong, penghuninya mudik beberapa hari lalu.
Di pagi buta itu, warga blok AG dan sekitarnya semakin gelisah, resah tak berkesudahan, terus-terusan di teror rampok. Yaaa, ampunnn !!!. Hal ini tak bisa dibiarkan, sentak beberapa warga di sekitar TKP.
Sejumlah dosen dan warga setempat lalu berinisiatif untuk mengadu langsung ke Panglima Kodam – Agum Gumilar, apalagi pagi itu beritanya sudah disiarkan RCTI dan SCTV – media TV swasta nasional. Mereka pun bergegas tanggap, mempersiapkan diri menghadap Panglima dirujabnya sekitar Lapangan Hasanuddin, di sisi SMA Kartika Chandra Kirana tak jauh dari Lapangan Karebosi. Salah seorang wartawan TV swasta nasional itu, dia menganjurkan agar tidak usah berganti pakaian, segera berangkat ke rujab Panglima, karena biasanya beliau menerima tamu di pagi hari. Mereka pun berangkat dengan pakaian sekenanya, tetap memakai sarung tidur dan kaos oblonk bersandal jepit. Sejumlah awak media – tv swasta nasional , di antaranya Husain Abdullah dan Iwan Taruna menyertai mereka menambah energi menerobos pagi menuju kediaman Pangdam VII Wirabunana.
Sejak kejadian itu, cukup lama warga perdos Unhas Tamalanrea dan sekitarnya menikmati ketenangan. Pengamanan terbuka dikawal sendiri komandan Detasemen Brimob Polda Sulselbar Johny Wainal Usman, pengamanan tertutup menyelusup sepanjang hari.
Sesudah penjagaan melewati sebulan, diputuskan para aparat keamanan perdos Tamalanrea dan sekitarnya berstatus “aman dan terkendali”. Walhasil, tersimpan ketenangan nan panjang – rentang waktu bertahun di perdos Tamalarea dan sekitarnya.
Seorang dosen belia mendiagnosa ‘urban symptoms’ penyebab tunggal bertaburnya ketenangan waktu itu, karena masih jarang, (bahkan hampir) belum ditemukan rumah ‘mewah’ – penggoda mata ‘burung-burung gagak di antara awan hitam’ saat melintas di langit perdos Unhas Tamalanrea dan sekitarnya”. Kelaparan adalah burung gagak/yang licik dan hitam/jutaan burung-burung gagak/bagai awan yang hitam (W.S. Rendra)