In memoriam Faisal Andi Sapada : Long March Malino – Ketua IKA Smansa 75

Beberapa hari ini, perasaan saya begitu cemas ketika melihat proses operasi jantung sohib Faisal Andi Sapada. Saya mengatakan kegelisahan itu pada isteri saya, ada perasaan khawatir nan tak kunjung reda. Berteman sejak tahun 1970, mengukir tali-sahabat yang amat kental. Beberapa hari belakangan ini, saya tergerus dengan kegiatan akademik; mengajar-penguji-membimbing. Sesekali saya menengok wag SMANSA 75 CANDA.COM sekadar memantau aktivitas SMANSA 75. Siang tadi, saya dikirimi WA dari isteri saya berita berpulangnya sohib Faisal Andi Sapada. Betapa kagetnya diri saya karena perkembangan terakhir almarhum mulai terkontrol. Innalillahi waina ilahi rojiun.

***

Di masa SMP, di kalangan remaja seusiaku sedang trend melakukan long march dan mountain climbing – mendaki gunung. Aku dan teman-temanku tak kalah gaul, mendirikan perkumpulan pencinta alam bernama Orthodox. Mereka antara lain Faisal A. Sapada; Achmad A. Beso Manggabarani – Mado; Sidik Salam – Ondong, dan Imran Samad – Aco, A. Pawakkangi, Sudirman Dagong, serta Landio,

Berbeda dengan teman-temanku ketika masih SD di Baraya, kini di SMP aku mulai bergaul dengan sahabat-baru dari kalangan ningrat Bugis.

Kami melakukan petualangan pertama dan — [sayangnya juga yang terakhir], long march dari markas Orthodox di rumah A. Faisal, jalan Jenderal Sudirman Makassar menuju Malino. Cerita Imran, kakak Abraham Samad; “agar terhindar dari panas yang menyengat kami berjalan malam hari. Camping dulu di lapangan depan rujab Bupati Gowa –besoknya melanjutkan perjalanan ke Malino.

Jalan menuju Malino terjal berkelok-kelok. Pusing bila berkendara. Masa-masa itu awal 1970-an, jalan poros Malino, hanya sesekali dilintasi mobil, sangat sunyi jelang sore hari, apalagi saat bukan di hari libur. Aktivitas penduduk desa, sudah redup di ambang sore.

Ketika sampai di desa Salotoa, kumendengar irama musik dangdut dari radio salah seorang pedagang di pasar, spontan aku berjoget hingga tak terasa bekal beras di ranselku tertumpah. Seketika teman-teman kesal karena mereka takut tak ada lagi beras yang bisa dimasak. Sebaliknya, pedagang-pedagang di pasar tersebut justru tertawa menyaksikan tingkahnya.,

Di malam kedua long march, kami memilih bermalam di sebuah pasar tua tak berpenghuni. Kami berbaring di lantai pasar yang amat dingin. Konon di desa itu terkenal angker, diduga masih banyak bergentayangan “poppo – parakang’” – serupa kuntilanak. Hiyy. Lantaran kecapaian seharian berjalan terus, maka lelap juga tidur kami.

Ketika bangun pagi, kami menemukan mangga muda di sekitar lantai pasar, lalu kami jadikan sarapan pagi. “Alhamdulillah, tak ada juga yang sakit perut”.

Kami melanjutkan long march melintasi pagi menebar benderang, menelusuri jalan berliku di tepi jurang yang terjal, berhiaskan lembah dan pegunungan bak lukisan alam abadi. Angin dingin di ketinggian Malino terasa langsung menggigit, perlahan menusuk pori-pori di kulit tubuh kami, pertanda Malino semakin dekat.

Jelang sore rombongan kami tiba di kota Malino. Berkemah di tepian taman Pasanggrahan Malino. Embun Malino mulai mengambang, kian menebal di senja hari menyelimuti taman Pasanggrahan. Malam pun tiba, samar-samar lampu pijar taman Pasanggrahan dinyalakan, jejeran rumah besar, pondok-pondok sewaan di sekitar Pasanggrahan mulai menerangi gelapnya Malino.

Kami lalu mengaso, membuka rangsel mempersiapkan panganan. Tragis, bekal ikan teri asin buatan ibu Amran terbang, terbawa kencangnya angin Malino. Saya dan Mado berteriak kecil, “Ekh Ran….. ikanmu terbawa angin”. Ia tak mampu meraihnya hanya termangu menyaksikan bungkusan plastik berisi ikan teri itu terbang melayang, meluncur di sela jurang mengarah kaki Gunung Bawakaraeng yang masih dikeramatkan itu.

Saat kami sedang menanak nasi, rumput-rumput kering di sekitar tempat kami berkemah ikut terbakar. Karena panik, seprei alas tidur yang terbuat dari kain gorden kami pakai memadamkan api yang mulai menjalar di sekitar kemah – tempat kami berteduh.

Di hari ketiga long march, kami bergegas pulang ke Makassar. Rasa capek sudah menggeroti sekujur tubuh kami. Menjelang sore hari saat gelap mulai merayap, sebuah mobil truk yang dikemudikan tentara Yon Zipur (yang mengerjakan proyek jalan Malino) melintas seiring arah kami. Mobil itu segera kami cegat, lalu dengan sekuat tenaga kami berlompatan ke atas bak mobil yang ternyata baru saja membongkar kapur putih. Sopir itu seakan tak peduli, kami tergoncang-gancing kiri-kanan bak muatan batu sungai. Akibatnya, sekujur badan kami jadi ‘putih’ dipenuhi hempasan kapur. Truk itu berhenti di tepi Sungai Bili-Bili ingin memuat lagi batu kali, kami pun turun dari truk, membasuh muka melepas hempasan kapur. Selanjutnya, rombongan kami bergegas – berjalan gontai kembali ke Makassar.”

Ketika SMP, aku turut menari menyambut kedatangan Raja Belanda Pangeran Bernard di Gubernuran Sulawesi Selatan. Aku ikut dalam grup tari binaan Andi Nurhani Sapada dari Institut Kesenian Sulawesi (IKS) yang tersohor saat itu. Selain diriku, tampil pula Faisal, Imran, Mado, Iqbal, Ikhsan, Haroen dan Fuad Hasan Maktour (mertua Dito-Menpora). Aku dan beberapa temanku berlakon sebagai ‘bate salapang’.

***

Di kesempatan lain, ketika masa awal SMA, aku sering terlihat ke mana-mana berkendara motor Honda C-90 merah, kendaraan ‘plat-merah’ milik  Faisal A.Sapada. Kelihatannya aku lebih menguasai motor itu, ketimbang Ichal – sang pemilik yang jarang menggunakan motor Honda C-90 berwarna merah tersebut. Terkadang ketemu Gerhaan Andi Lantara, kakak kelas diatas satu tingkat di pengkolan jalan Dr. Sutomo-Lagaligo-Karunrung sambil berbareng-bersenggolan motor.

Almarhum hijrah ke SMA Pembangunan, saat akhir kelas 3 SMPN 6 Makassar. Seingat saya, hanya saya yang tak bergabung tetap menyelesaikan studi di SMPN 6, lalu masuk SMAN 1 Makassar.  Keakraban kami tak lekang oleh waktu, hampir setiap hari ngumpul di rumah Faisal menikmati masa remaja kami.

Ketika almarhum kelas II bersama Yonas Waworuntu (alm) masuk ke SMAN 1, saya malah hijrah mengikuti orangtua di Ternate – Maluku Utara.

Saya melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi dan almarhum di Fakultas Teknik Unhas, angkatan 1976.

***

Saat almarhum jadi Wakil Walikota, setidaknya dua kali saya membujuknya untuk ‘sekedar menyapa’ peserta pelatihan dari BBPK Makassar di hotel Bukit Kenari dimana isteri saya jadi panitianya. Saya ingin membuktikan bahwa almarhum sohib terbaik saya. Dan tentu saja, peserta pelatihan mendapat kemudahan outbound di lapangan kota Pare-pare.

Rina, isteri almarhum — adik tingkat kami di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Budaya (FIISBUD) yang juga aktif dikegiatan kesenian kampus.

Selamat jalan sohibku, engkau tetap di hati kami – engkau tetap bagian dari kami.

______________________

Catatan : kisah masa SMP-SMA tertulis dalam buku Demonstran Dari Lorong Kambing, 2015. Sumber foto : istimewa