Membaca ‘Ruang Batin’ Husni Djamaluddin : MENEMBUS RUANG KOSONG KAMPUS MERAH

Bagi mahasiswa seperti saya yang tumbuh dan dewasa di pertengahan tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1980-an (1976-1986), tak bisa melepaskan diri dari kukuhnya pengaruh kebangkitan penyair Indonesia  “angkatan 70”.

Kala itu, Corak  perpuisian  tersebut ditandai  oleh  adanya  upaya  yang  sadar untuk  kembali  ke  akar  (back  to  basic).  Di sinilah, Husni Djamaluddin hadir sebagai penyair nasional dan Panglima Puisi di Sulawesi Selatan saat itu. Kala itu pula, saya mengenal Sutardji Calzoum Bahri Satta, Hamid Djabbar, dan Zawawi Imron. Husni bersama Rahman Arge dinilai Teeuw keduanya mengunggah puisi yang mengandung unsur-unsur ironi yang segar.

Kumpulan puisi Husni Djamaluddin antara lain : Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1974), Sajak-sajak dari Makassar (1974); Toraja (1979), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).

Generasi saya hampir ‘mengenal-utuh’, sosok Husni Djamaluddin sebagai tokoh penting di Sulawesi Selatan dan Barat. Kepenyairannya berbareng lurus dengan posisinya sebagai budayawan terkemuka. Ia juga terkenal sebagai jurnalis senior semasa kebangkitan Orde Baru (sebayanya Arsal Alhabsy, Rahman Arge, Alwy Hamu dan Nursyamsu).  Almarhum juga pengusaha yang piawai. Tentunya, salah seorang pendiri Provinsi Sulawesi Barat. Apa yang tak dimilikinya sebagai bura’ne na bura’nea – ‘lelaki sejati’ – to malebbiq – Idola kaum muda progresif.

Suatu Ketika di Tamalanrea

Bermula di awal tahun 1990, kesedihan menyelimuti dosen-dosen muda Unhas yang tinggal di Tamalanrea. Kesedihan itu, karena setiap musim kemarau dosen di kompleks itu, tersita waktu mengajarnya untuk mencari air – memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Letak kampung Tamalanrea, 10 kilometer dari pusat kota – juga bukti ketergusuruan mereka, tersingkir dari kota. Maka viral-lah kisahnya, jika penghuni perdos Unhas tak mampu menyanyikan lagu Indonesia Raya secara baik dan sempurna. Lantaran, air mereka tak punya, tanah pun milik Unhas. Saat itulah, saya teringat bait-bait dari puisi Husni Djamaluddin :                                INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU                                                    Indonesia tanah airku                                    tanah tumpah darahku                                      di sanalah aku digusur                                      dari tanah leluhur  

Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah airku dikemas
dalam botol-botol aqua

Indonesia tanah airku
di sanalah aku berdiri
jadi kuli sepanjang hari
jadi satpam sepanjang malam

Indonesia tanah airku
Indonesia di manakah tanahku
Indonesia tanah airku
Indonesia dimanakah airku

Indonesia tanah airku
tanah bukan tanahku
Indonesia tanah airku
air bukan airku

Indonesia, masihkah engkau tanah airku ?
Tuhan, jangan cabut Indonesiaku
dari dalam hatiku

Sebuah Puisi (ku) untuk Husni Djamaluddin

Bicaralah aku dan lautku pecah

Diamlah aku dan lautku gemuruh

S  I  A  P  A

Berenang dalam lautku ?

DKM,  20/09-1984

Pergi tinggalkan keriuhan

Husni Djamaluddin terlahir di Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar – Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat tanggal 24 Oktober 2004, persis sebulan setelah terbentuk Provinsi Sulawesi Barat. Almarhum adalah salah seorang ‘tokoh penting’ berdirinya Provinsi Sulawesi Barat. Ia sepertinya, telah menunggu menuntaskan urusan duniawi. Untaian puisinya menunjukkan kesiapan almarhum menuju SurgaNya.

JIKA PADA AKHIRNYA

Jika pada akhirnya Mata pun katup dan tubuh terbujur kaku Apa lagi yang sisa

Barangkali aku akan menempuh jarak jauh Barangkali akan dapat melewati jalan pintas Barangkali aku bisa segera berada di depan rumahMu

Barangkali Kau sudi membuka pintu Barangkali Kau berkenan mengulurkan tangan Barangkali Kau tersenyum ramah berkata, masuklah

Barangkali semua ini sisa mimpi Yang kubawa dari bumi Barangkali mimpi ini Terlalu berani Dan terlalu berlebih-Iebihan Barangkali aku tak pantas Lewat jalan pintas Barangkali aku tak patut Kau bukakan pintu

Barangkali aku tak layak Kau uluri tangan Barangkali aku tak berhak Masuk ke dalam rumahMu Lalu ke mana lagi aku harus pergi Menyerahkan diri Setelah mata tertutup Setelah tubuh terbujur kaku

Ayah Ideologis

Bagi kami aktivis kampus ‘semrawut’  (pimpinan lembaga kemahasiswaan, tokoh pergerakan mahasiswa, sesepuh kemahasiswaan) dengan latar-belakang sebagai pengasuh pers mahasiswa-radikal, penggiat seni, penulis buku perlawanan, dan  ‘pecinta ulung?’, sosok  Husni Djamaluddin tak hanya sebagai to malebbiq tetapi almarhum juga adalah ayah  ideologis kami. Ia — Sang Pencerah, mengisi ruang-ruang kosong kampus merah Unhas.

_____________________

Banyak orang kampus Universitas Hasanuddin (dari kampus lama – Baraya sampai  kampus baru – Tamalanrea) suka mengira, jika saya ‘anak Sastra’, lantaran kegemaran saya menulis puisi dan cerpen di berbagai media cetak dan bulletin pers mahasiswa. Ketika di masa usia-subur (produktif), saya menjadi redaktur surat kabar kampus (skk) Identitas dan mendirikan bulletin Balance Pers Group (BPG) sejak 1979, lalu mendirikan Serikat Penyair Kampus (SPK) - 1981. Produk BPG antara lain : SAJAK BUAT SUHARTI (1980), PETISI KEPADA TUHAN (1981), MAUT (1982), SAJAK-SAJAK MALAM (1983), dan SOSOK ITU (DKM-1984), Sajak Pegawai Negeri (Identitas Unhas,1990). Ketika PD III FKM Unhas, saya menyelenggarakan seri pertemuan tahunan : TEMU PENYAIR MAKASSAR di kaki gedung Rektorat Unhas selama 3 tahun berturut-turut. Ketua IV Dewan Kesenian Makassar (1998-2000)