Ode Kematian

Jika kematian adalah wujud lain dari kekalahan,
maka kekalahan demi kekalahan telah menerpanya.
Kematian demi kematian terus merenggutnya.

***

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan ‘mati’ sebagai sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi: tidak bernyawa; tidak berasa lagi; padam; tidak dapat berbuat apa-apa; tidak dapat berubah lagi; sudah tidak berguna; diam atau berhenti. Sedangkan kematian adalah perihal mati.

Awal kematiannya, saat pengganyangan ‘toko-cina’ di seantero Makassar, 10-11 April 1980. Kisah tak berdarah, tanpa kobaran api – sedikit kekerasan. Ia dipenjara penguasa Orde Baru, menebus pergolakan zamannya. Ia diramalkan banyak orang, kelak tak bisa jadi pegawai pemerintah bahkan bekerja di swasta sekalipun. [Mungkin] pula, dirinya bakal sulit berusaha-mandiri karena tercatat blacklist penguasa rezim militer.

***

Kematian kedua, ketika dirinya ‘makkalawaki’ – menggembala aksi mahasiswa menumbangkan rezim Orde Baru. Ketika itu, ia Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Perbuatan tak lazim dilakukannya; ia pejabat setingkat eselon satu yang melebur dengan gerakan mahasiswa, sejak awal reformasi bergulir.

Seandainya, gerakan reformasi yang dikumandangkan oleh mahasiswa — gagal !?#. Entah apa yang akan dideritanya ?!?!

Kematian berkelanjutan, terasa tak nyaman baginya. Mati muda seperti Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid terasa lebih damai menutup gelisah kala muda.

Ia teringat lagu keramat saat penyambutan mahasiswa baru, Gaudeamus igitur.

Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus
Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus
Post iucundam iuventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus nos habebit humus

(Karenanya marilah kita bergembira selagi masih muda,
seusai masa muda yang menyenangkan,
seusai usia tua yang penuh kesakitan,
bumi akan memiliki tubuh kita).

Dipuncak euforia reformasi, ketika gerakan mahasiswa berhasil menaklukan rezim Orde Baru, ia dinilai ‘memberi-arti’ dari penaklukan itu (setidaknya elit-pewarna di poros timur kawasan Indonesia).
Suatu hari, sebuah koran terkemuka di Indonesia ingin menampilkannya di halaman ‘prestise’ semacam Tokoh atau Sosok. Dikisahkan, manakala koran itu memuat sosok-tokoh di halaman tersebut tak jarang berkahnya jadi menteri, setidaknya nominator menteri. Wawancara pun diselenggarakan secara baik dan sempurna, bahkan pewawancaranya kepala bironya sendiri didampingi seorang wartawati senior.

Seminggu – dua minggu, hasil wawancara itu tak juga diberitakan. Padahal, ada ‘garansi’ nilai ‘news’ sebagai ‘pakalawaki’ – penggembala Pekik reformasi Dari Seberang Lautan Yang Terjajah. Aksi heroik mahasiswa SOLID Unhas sepanjang reformasi 1998.

Ada ‘bocoran’, jika sosoknya tak pantas dimuat di koran itu, karena ia ‘aktor-utama’ peristiwa pengganyangan ‘toko-cina’ di Makassar, awal 1980, pada episode kematian pertamanya.

Tersiar kabar-samar, kedua pewawancara itu (masih tergolong yuniornya) ‘sedikit’ kecewa, lalu mengusulkan agar disajikan saja di kolom profil – semacam tokoh dan peristiwa. Keinginan itu pun punah.

Kematian tak serta merta menguburkan ‘dendam’ atau [mungkin] virus ‘kebencian’. Di hatinya, koran terkemuka itu — tetap saja koran’ berwarna’ [mungkin] putih, [mungkin] kuning, aroma ras – meski tertulis di pojok atas halaman depannya – ‘harian untuk umum’.

***

Kematian ketiga, ketika mengembara di kota megapolitan Jakarta – kota para pendosa. Ia diterusir sosok-sosok PANsel kementerian; anasir politik – pensiunan – NGO worker.

[Mungkin], darah aristorak atau pangreh praja tak mengalir di tubuhnya. [Mungkin], ‘mental lorong’ – lebih merasukinya berpuluh tahun.

Terbayang kisah-resah sebayanya yang diterpa piranti ASN dikotanya.

Suatu pagi nan cerah di lapangan Karebosi-Makassar, ia dan sebayanya jogging bersama. Mereka sudah lebih tujuh putaran mengelilingi lapangan Karebosi, tapi tetesan keringat mereka tak tuntas mengucuri kaos-jogging berwarna-warni di tubuhnya. Momok penahan keringat itu [mungkin] bernama pansel.

Ia kini laksana perahu tanpa angin.
Ia bagai serigala tua bernajis yang setiap saat dipelototi sang anjing
dan dikejar singa yang ingin balas dendam.

Ia akhirnya kembali ke pertapaannya – menikmati puisi sohibnya ‘kesaksian La Ride’ (Ridwan Effendy) – semerbak kampus merah Tamalanrea, duduk di antara jejeran meja dosen, berhias tumpukan skripsi dan tesis mahasiswa, bertoreh koreksian-pulpen merah. Ruang dosen nan sempit dan pekat itu, menjulur kerutinan, menghadang harapan, gagasan, dan maksud baik.

Ia kembali menelusuri deretan belasan ruang kuliah yang temboknya penuh tempelan dan coretan. Ia mendengar lagi, instruksi dan dongeng dosen di kelas diantara teriakan-teriakan usil mahasiswa.

Jika kematian adalah wujud lain dari kekalahan, maka kekalahan demi kekalahan telah menerpanya. Kematian demi kematian terus merenggutnya.

Sisa-sisa kesadarannya mengingatkan (sebelum ‘kematian abadi’ menjemputnya); — ia [mungkin] bukan kesatria dalam dongeng ini. [#]