Penyaksian Sejarah; Catatan Kecil dari Buku 98-99

SUATU pagi yang cerah di kota makassar, seluruh kehidupan dan hiruk pikuknya dari kepengatan di balik terik matahari, satu ruang di mana ruang publik bergeser ke ruang intelektual. Yah, sekilas membaca buku 98-99 yang berwarna merah yang ditulis oleh seorang Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan di kampus merah Universitas Hasanuddin, beliau adalah kanda Amran Razak. Laman-laman buku ini bertutur dengan indah, di sana tak cukup ada penulisnya, namun banyak penyaksi sejarah terhadapnya.

Sosok akademisi yang bersahaja yang dapat ditemukan bukan hanya di dalam kampus tetapi sosoknya dapat dijumpai dalam berbagai ruang publik. Ruang diskusi yang selalu mencerahkan. Sosok yang menuliskankan jejaknya di setiap jedah hidupnya. Pengungkapan ruh dari setiap fase adalah “nilai” yang tak mudah hilang walau kemarau datang.

Buku 98-99 adalah jejak sejarah yang ditulis tanpa jedah. Melawan orde baru bukanlah hal yang mudah. Ada yang cukup heroik dalam buku ini ada sebuah kalimat “sekiranya reformasi itu gagal saya tidak tau, mungkin saya sudah dibunuh” demikian tutur penulisnya, kanda prof. Dr. Amran Razak.

Di satu sisi, sang penulis telah menguraikan hal-hal yang dilupakan sejarah. Banyak orang-orang telah memberikan penyaksian atasnya. Bahwa gerakan tanpa mentor akan kehilangan arah, dan kanda prof. Dr. Amran Razak telah memberi semangat sekaligus tuntunan bagi mahasiswa kala itu dengan spirit perlawanan. Perlawanan baginya adalah “sunnatullah”.

Buku 98-99 adalah secercah untaian kalimat yang telah melawan lupa. Dari fase gerakan mahasiswa yang bergerak laksana lautan semut merah dari gerbang kampus merah memenuhi ruas jalan hingga pendudukan bandara. Tentu hal ini tak seheroik kisah Imagining Argentina tahun 1974-1978 yang melawan juntah militer dengan kekuatan civil society. Dimana para aktivis diculik dan dibunuh pasca tumbangnya rezim Jenderal Juan Peron.

Kak Amran Razak nyaris tak melupakan setiap episode sejarahnya. Penyaksiannya menempatkan dirinya kalau mau dibilang seperti “arete” menurut Platonian manusia keutamaan. Keutamaannya adalah karena sosoknya tersembunyi di teks-teks buku ini, tetapi secara kontekstual beliau berkelindan di arena gerakan. Hingga kancing berhamburan dengan nada lantang “tembak dulu aku baru kalian menggilas mahasiswaku”, sebuah kenyataan bahwa pemimpin tak membiarkan setetes darah jatuh dari rakyatnya.

Pelusuran buku 98-99 menjadi apik karena adanya dua kutub yang coba dimaknai yakni, history dan story menjadi perbincangan untuk mengangkat “ruh” dalam buku ini, sosok budayawan seperti kak Alwy Rahman laksana penari balet yang meliuk-liuk di antara alunan musik, mendarasnya dengan tajam. Apa itu history (sejarah), yang menurutnya amat berbeda dengan story (kisah).

Sejarah begitu agung nan tinggi ditulis berdasarkan fakta yang pernah ada. Namun di sana (sejarah) ada “kemarahan”, sebab sejarah bisa dibilang dibentuk oleh siapa pemenangnya, pelakunya, yang kalahpun ditulis walau ia harus menderita (disingkirkan). Sakit dan menyedihkan sebuah epilog yang penuh elegi. Tetapi buku 98-99 adalah pewaris atas kesaksian tumbangnya rezim orde baru, sebuah epilog yang mengerikan dalam ritme gerakan sosial. Dengan tumbangnya rezim orde baru 21 Mei 1998 tepatnya 20 tahun yang lalu.

Story (kisah), kadang ditulis oleh seseorang di luar pengalamannya, dan kadang pula ada narasi yang terputus sebab bukan pelaku yang mendakunya. Tetapi story, adalah nilai bukan semata paragraf dan kalimatik, tetapi di sana (story) ada kejujuran.

Nah, kanda Prof. Amran Razak, telah hadir menyuguhkan dua hal penting. Pertama, kejujuran pengalaman hidup yang tak mudah diraihnya. Kedua, kejujuran intelektual akademik dengan torehan karya yang apik. Sebuah pergulatan hidup menapaki situasi yang penuh arti. Yaitu melakoni gelombang perubahan di bangsa ini.

Karena itu, buku ini tak sekedar bacaan sejarah atau kisah, tetapi lebih dari itu ia hadir menjadi pengingat masa lalu, bahwa mahasiswa tak pernah lelah, apalagi tidur, mereka sarat dengan perlawanan, baginya perlawanan adalah ibadah sosial yang harus digerakkan dengan mesin intelektual. Dan kanda Amran Razak telah menjadi pembawa gerbong misi perubahan di era reformasi.

Selamat buat kakanda Prof. Dr. Amran Razak, atas lahirnya karya monumental ini, sekaligus hadiah bagi 20 tahun reformasi.

Ujungpandang, 21 Mei 2018. 

 

 

DIresensi oleh

Saifuddin al Mughniy