Catatan Seperjalanan

 Oleh : Ajiep Padindang

 Kabar meninggalnya sahabat saya, Andi Yayath Pangerang, saya baca pukul 03.15 dini hari kamis, 10 Desember 2020, melalui Group LAPAKSS, Organisasi Kesenian dan Kebudayaan yang saya pimpin. Bung Yudhistira Sukatanya, boleh dianggap saudaranya bersama lebih 40 tahun, melalui isterinya mengabarkan. Bahkan syukurnya, sebab Bung Yudhi masih sempat melihat mayatnya sebelum di berangkatkan ke Tanah Luwu, tempatnya akan istirahat selama-lamanya.

Sesungguhnya saya selalu berusaha membatasi diri untuk tidak menulis tentang keadaan seorang sahabat, terutama ketika sudah meninggal. Saya pribadi oleh banyak teman, sudah sering meminta untuk menuliskan biografi saya, namun belum ada yang saya penuhi, termasuk belum sanggup menuliskannya sendiri otobiografi, karena pemahaman saya itu untuk mereka yang sudah meninggal dengan banyak jasa yang bisa diungkapkan. Walau memang, soal jasa dan pengabdian, relatif mengukurnya bagi yang bukan secara langsung bergerak dibirokrasi ataupun dipolitik praktis.

Prof Amran Razak, melibatkan saya untuk menulis berita sekitar kematian Opu Andi Yayath, begitu panggilan saya padanya setelah masing-masing berusia diatas 50-an tahun, karena dia selalu memanggilku juga Puang Ajiep.

Obituari, memang kemudian berkembang pemahamannya, bukan hanya berita kematian tetapi sekaligus secara luas seputar seseorang yang meninggal, untuk menjadi kenangan. Agak lama baru saya bisa membuat tulisan ini, mungkin saya menjadi terakhir menyetornya, sebab setiap saya mulai membuka file di Komputer, terbayang wajah seorang sahabat yang selalu tegar, ceria dan bersemangat, walau sesungguhnya, sudah digerogoti oleh berbagai penyakit sekitar 3 tahunan terakhir.

Tahun 2020, memang praktis saya tidak pernah lagi bertemu secara fisik dengan Andi Yayath Pangerang, namun diakhir-akhir tahun 2019, masih sempat bertemu untuk membahas program dan kegiatan tahun 2020 untuk Lembaga Jejaring Teluk Bone yang saya dirikan bersamanya dan dia pimpin bersama Patta Nasrah di Kendari, sahabat rasa saudaranya yang justru memantau dan menyaksikan kondisi terakhir-terakhir Andi Yayath dalam melawan penyakit yang menderanya.

Tahun 2020, saya berkomunikasi terakhir melalui WA, ketika dia dirujuk untuk berobat ke RS Wahidin Makassar, selanjutnya saya tidak ada komunikasi lagi, karena berbagai kesibukan dan tekanan jiwa oleh Pandemi Covid-19. Bagi saya, selalu merasa terganggu perasaan untuk bertanya atau ditanya kondisi kesehatan, apalagi jika sudah jelas berurusan rumah sakit. Suatu saat, mungkin tahun 2017 atau 2018, Yayath ke Jakarta berobat dan salah satu yang diobati adalah matanya. Sempat bertemu dan berdiskusi banyak dengannya.

Keterkaitan dengan dunia kesenian dan kebudayaan yang kami geluti bersama, walau hampir tidak pernah sepanggung bersama, apalagi Andi Yayath, lebih suka dibelakang panggung daripada di atas panggung, mungkin sudah banyak diceritakan sahabat-sahabatnya, terutama yang di Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM), organisasi Kesenian yang didirikannya bersama Kak Tiar, Yudhistira Sukatanya, Andi Abu Bakar Hamid, Abdi Bashit, dll yang saya tidak sebut satu persatu. Saya diorganisasi kesenian lainnya, tapi hampir setiap saat berdebat tentang kesenian, hingga menggelar : ‘Pertunjukan Tikus-Tikus Kota Makassar,’ untuk menuntut pengembalian nama Makassar.

Teater jalanan pertama di Makassar yang star dari Pantai Losari ujung selatan ke Benteng Fort Rotterdam menggunakan pakaian hitam-hitam dan obor, berujung kemudian ketika kami sebagai penggerak, harus diangkut dengan mobil ‘bombe-bombe’ nya Polrestabes Ujungpandang. Bisa dibayangkan, di zaman Orde Baru, ada kelompok yang berani berunjuk rasa, tetapi waktu itu kami menyebutnya bukan berdemonstrasi, melainkan melaksanakan pertunjukan kesenian : ‘ Teater Jalanan.’ Setelah berdebat dengan pihak kepolisian, menjelang tengah malam, kamipun dibebaskan pulang.

∞∞∞

Suatu saat, mungkin sekitar tahun 2007 (kelemahan saya karena tidak biasa membuat catatan harian), saya senang karena Andi Yayath Pangerang, mau menjadi peserta Orientasi Fungsionaris Partai Golkar, utusan Kabupaten Luwu Timur. Saat itu, seseorang boleh menjadi pengurus DPD II Partai Golkar kalau sudah pernah ikut perkaderan atau setidaknya setelah jadi pengurus wajib ikut perkaderan. “Mantaplah sudah mau bergabung formal ke Partai Golkar,” sapa saya sebagai sahabat yang bertindak selaku Penyelenggara dan Pelatih Perkaderan Partai Golkar Sulsel. Andi Yayath, hanya tersenyum sambil menunjuk Opu Andi Hatta Marakarma, Ketua DPD Golkar Lutim.

Ketika penyusunan Bakal Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota se Sulsel, saya selaku salah seorang Pimpinan Tim Seleksi, kemudian meminta kepada Tim Luwu, untuk memberikan daftar nama usulan Luwu Timur. Kagetnya saya, karena nama Andi Yayath, tidak ada, padahal saya sudah pastikan dia adalah kader yang dipersiapkan oleh Opu Andi Hasan dan Opu Andi Hatta, baik sebagai kerabatnya maupun memang yang saya tau adalah Andi Yayath, salah satu pemikirnya. Tentu secara politis, Andi Yayath, dipersipkan untuk mengawal kebijakan pemerintahan dan pembangunan Luwu Timur.

Kepada Tim Luwu, saya sampaikan, jangan bahas dulu usulan DPD II Luwu Timur, sebelum saya klraifikasi nama seseorang. Saya lantas berusaha menghubungi Andi Yayath Pangerang dengan kesimpulan yang unik. “Janganmi saya jadi anggota DPRD, kan saya tetap membantu Opu Hatta dan Golkar,”ujarnya, ketika saya tanya dan tawarkan, bahwa saya memiliki sedikit kewenangan untuk ikut menentukan Calon-Calon Anggota DPRD dari Partai Golkar. “ Terima kasih sobat, Puang Ajiep, saya yang tidak mau,” tegasnya.

Penolakan itu, kontradiktif dimasa persiapan menghadapi Pemilu tahun 2019, untuk menghasilkan Anggota legislatif periode 2019 – 2024. sebab kemudian Andi Yayath Pangerang, membuat saya terkejut saat mengetahui menjadi Calon anggota DPRD Kabupaten Luwu Timur dari salah satu partai politik. Tentu saja, saya jadi serba salah sebab salah satu ‘Simpul’ Jaringan Pemenangan saya sebagai Calon Anggota DPD RI, di Luwu Timur, bahkan di Luwu, adalah Opu Andi Yayath Pangerang. Dari dialah saya pastikan informasinya bahwa, Datu Luwu Opu Andi Maradang, tidak menjadi Calon Anggota DPD RI. “ Saya sudah diskusi dengan beliau Opu Datu Luwu,” ujar Andi Yayath diujung telpon pagi hari. Serba salahnya saya, karena saya masih mengandalkan jaringan politik melalui partai Golkar, saat itu padahal Andi Yayath, bukan Caleg Golkar.

∞∞∞

          Andi Yayath Pangerang, masih kerabat Datu Luwu dan Dewan hadat Kedatuan Luwu, karenanya melalui dia, saya menggagas bersamanya untuk menyelenggarakan GERAKAN PEMBELAJARAN BUDAYA SULSEL melalui GERAKAN PEMBELAJARAN BUDAYA LUWU dengan pelaksana Ibu Sharma Sadewang. Setalah intensi berkomuniasi dengan Datu Luwu dengan dukungan Andi Yayath Pangerang, jadilah dilaksanakan Lokakarya melibatkan semua unsur Pemda se Luwu Raya.

Andi Yayath Pangerang, kami sebut sebagai penggerak kesenian dan kebudayaan, sebab kenyataannya seperti itu. Bahkan sekaligus sebagai sponsorship, sebab sangat kuat mencari kemitraan untuk melaksanakan kegiatan. Dia konseptor, pemikir tapi sekaligus pelaksana. Konon juga di Kampus Unhas, tempatnya menjadi mahasiswa abadi, karena kesibukan organisasi, khususnya di Dunia Kesenian dan Kebudayaan.

Pemikiran-pemikiran tentang menjadikan Budaya Luwu sebagai sumber kearifan Budaya Sulawesi Selatan dalam membentuk Budaya Indonesia, bagian yang paling sering kami diskusikan hingga larut malam. Disaat masih mudanya, rokok dan kopi, adalah pendampingnya yang paling setia dalam berdiskusi. Termasuk kesepahaman kami tentang perlunya gerakan pembelajaran budaya, melalui Literasi dan Aksara, pemahaman akan tradisi dan adat istiadat. Pokoknya, banyak gagasan-gagasan besar yang selalu ditawarkan kepada siapapun yang terkait dengan bidang itu. “Saya sudah diskusi Datu Luwu tentang pemajuan Budaya Luwu dan beliau sangat berperhatian,” ujarnya bersemangat ketika kami akan menyelenggarakan Lokakarya Gerakan Pembelajaran Budaya Luwu yang sampai akhir tahun 2020 ini, tidak dapat kami laksanakan. Mungkin ini menjadi ‘utang budaya’ saya kepada Bung Andi Yayath, sehingga saya masih tertantang untuk menindaklanjuti hasil Lokakarya tersebut. Semoga.

∞∞∞

Bukan Andi Yayat Pangerang, kalau bertemu dan tidak membawa gagasan-gagasan baru, paling tidak gagasan lama yang belum terealisir, diungkapkan kembali menjadi bagian diskusi yang menggairahkan. Demikianlah ceritanya suatu hari dia berada di Jakarta (Maaf tahunnya sekitar 2017, bulan dan tanggalnya lupa). Melalui WhatshApp, dia minta waktu bertemu. Saya lantas menjanjikan agar ketemuan di Kantor saya, Sekretariat Jenderal DPD RI, Ruang Sulsel, Lt.III, Pukul 12:30. Sengaja saya ajak kekantor DPD RI dan pada jam makan siang, supaya diskusinya agak panjang dan memang saat itu saya tidak rapat.

Seperti juga biasanya, menenteng sebuah berkas dengan wajah cerah bersemangat, walau baru saja ternyata sakit beberapa bulan sebelumnya. Andi Yayath memulai ceritanya tentang Teluk Bone. Singkatnya Pemda Kolaka Utara, merencanakan untuk melaksanakan Seminar Tentang Pengembangan kerjasama Ekonomi bagi daerah-daerah disepanjang Teluk Bone, baik yang ada di Sulawesi Tenggara maupun yang ada di Sulawesi Selatan. Rencananya, Maret 2017. Sebuah proposal kegiatan, diserahkan kesaya untuk mendapat dukungan dari anggota DPD RI Sulsel dan Sultra, serta memfasilitasi dengan kementerian terkait untuk kehadirannya. “ Posisi anda dimana ?,” tanya saya sebab biasanya Andi Yayath yang gagas dan rancang kegiatan, tindak lanjutnya orang lain yang dapatkan hasilnya.

“Saya sebagai Koordinator Tim Kerja yang ditunjuk Pak Bupati Kolaka Utara”, katanya. Maka kami sepekat, agar datang saja lusanya di Kantor DPD RI untuk saya pertemukan dengan Menteri Perencanaan Nasional/Ketua Bappenas, Bambang Brodjonegoro, karena kebetulan akan rapat dengan Komite IV DPD RI yang saya pimpin. Jadilah kemudian saya pertemukan dan dijanjikan untuk hadir, paling tidak pejabatnya, jika memang tidak memungkinkan. Andi Yayath Pangerang, makin bersemangat, sebab sudah didengarkan gagasannya oleh Menteri Bappenas, dijanjikan kehadirannya dalam acara tersebut. Seminar itu memang berlangsung sukses, walau hanya Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti yang hadir langsung.

Bone Gulf Network – Jejaring Teluk Bone, menggelinding. Berawal dari seminar, kemudian saya dukung FGD di Kendari, di Sulsel (Bone, Luwu dan Makassar), bahkan membangun kesepahaman dengan Badan Kerjasama regional Sulawesi. Agar program ini patent, saya fasilitasi membentuk sebuah lembaga resmi melalui Notaris dan dilengkapi administrasinya dengan memberi tempat beralamat di Kantor pribadi saya, Ruko Zamrud, Panakukang, Makassar. Jejak digital keberadaan lembaga Jejaring Teluk Bone dan berbagai gerakan yang dimotori Andi Yayath Pangerang, masih bisa diliat di media sosial. Akhirnya, bagi saya gerakan pengembangan Kawasan Teluk Bone yang pernah kami rancang untuk membuat ekspedisi dari Selayar ke Malili mutar ke Sultra dan berakhir di Bira, karena Pandemi Covid-19 tahun 2020, maka rencana itu tidak berjalan, seiring dengan kehendak Allah SWT yang memanggilnya sahabat saya ini kealam abadi.

Makassar, 17 Desember 2020.