Menakar Janji Kesehatan Gratis

Health is not free, someone must pay.

(Bodenheimer & Grumbach, 2002)

Fajar,  4 Agustus  2008.

Hasrullah, menulis prosesi pengukuhan guru besar Amran, di Harian Fajar pada kolom PODIUM asuhannya yang diberi judul “La Kekomae !” – ‘mau ke mana’  program kesehatan gratis :  

Orasi Amran di ruang sakral Senat Universitas, terasa “gemuruh dan bergetar” bagaikan sebuah orkestra yang membawakan lagu jeritan hati rakyat yang bertemakan kesehatan gratis.

Alunan orasi guru besar biasanya dibacakan berdasarkan teks pengukuhan, namun kali ini pidatonya cenderung tak membaca bagaikan guru atau dosen memaparkan bahan kuliah secara vulgar, nyeletik, dan menohok. Apalagi tema pidatonya : Kesehatan Gratis Sebagai Komoditi Politik : Suatu Tinjauan Prospektif Pembiayaan Kesehatan.

Rapat Senat Terbuka yang dipimpin langsung Rektor/Ketua Senat Unhas Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi, SpB dengan sejumlah guru besar tak terkecuali hadir pula Prof. Amiruddin, Prof. Basri Hasanuddin, dan Prof.Halide menjadikan suasana sidang bernuasa sakral akademik. Suasana yang penuh hikmah itu, tak menyebabkan seorang yang bernama Amran si-“Anak Lorong” membuat nyalinya ciut. Bahkan pidatonya yang dianggap “nakal” karena menyindir program gubernurnya dan sejumlah kandidat pilkada di Indonesia.

Kepiawaannya tak hanya sampai di situ, Guru Besar yang pernah berstatus guru SMA  di Makassar, paparan analisisnya diungkap dalam teks pengukuhannya bahwa kesehatan gratis secara teoritis menawarkan jasa layanan yang bersifat “inferior” (murahan dan mutunya rendah) pada segmentasi masyarakat belum tercakup jaminan kesehatan yang merupakan sektor informal (bukan kategori miskin/hampir miskin). Berdasarkan paparan tersebut, sang guru besar FKM-Unhas menawarkan apologi : “bertaubatlah”. Perkataan “bertaubatlah” yang ditujukan kepada tokoh penyebar janji kampanye kesehatan gratis, menggema di dalam ruang senat kembali membuat gemuruh audience, tertawa lepas melihat sosoknya ‘nyeletuk’ dengan kata-kata ‘nakal’ yang kritis itu.

Itulah Amran, bawaan demonstran kampus awal dekade 80-an dalam penerimaan Guru Besar; nakal, nyeletuk, berapologi, objektif, dan dinamis. Yang pasti, teks pidatonya menjadi peringatan dini kepada gubernur/bupati mengusung janji kesehatan gratis agar ‘waspada’ menebar janji tak hanya mengejar birahi kekuasaan, namun perlu melihat secara perspektif holistik bahwa kesehatan gratis meliputi masalah kelembagaan, sumber dana,  aspek legal, aspek teknis dan kesinambungan. 

La Kekomae kesehatan gratis  !?!.

***

Gesekan pengaturan Asuransi Kesehatan di Indonesia berkepanjangan, walau Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah ada, bersamaan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah. Kedua produk Undang-Undang ini seakan saling bergesek, setidaknya jalan sendiri.  Mendorong munculnya program kesehatan gratis.

Kesehatan gratis jadi trend baru jualan politik. Meski dipasca kampanye – saat rakyat menangih janji kemenangan, kesehatan gratis yang disodorkan ternyata sebatas jaminan pengobatan secara ‘terbatas’ berupa pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan rujukan ke Rumah Sakit  Umum Daerah (RSUD) plus Rawat Inap di Kelas III. Padahal, selama masa kampanye (lihat : iklan di berbagai TV swasta nasional dan sajian program unggulan) para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur dari berbagai provinsi seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Kalimantan Timur menyusul Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali,  Nusa Tenggara Barat, dan Maluku serta Jawa Timur sepertinya tak pernah mengutarakan klasifikasi paket layanan yang ditawarkan. Layaknya, asuransi mobil “all risk”. Mereka mengumbar janji “KESEHATAN GRATIS” yang bisa diartikan sebagai pemberian layanan kesehatan secara cuma-cuma (bahasa Melayu; percuma). Tak heran, jika terbangun persepsi masyarakat tentang “kesehatan gratis” sebagai pemberian layanan kesehatan tanpa “embel-embel” dan “seutuhnya”.

Selama ini, praktek layanan kesehatan gratis di tingkat kabupaten/kota ‘relatif’ bisa dilaksanakan dengan berbagai kebijakan daerah, karena cakupan penduduk dan wilayahnya relatif kecil, hampir tak ada pesaing dari RSUD setempat. Namun, pada tingkat provinsi di Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya. Karenanya, bisa ‘menyesatkan’ jika ingin membandingkan keberhasilan program kesehatan di kabupaten/kota,lalu      menerapkan best pratice kabupaten/kota tersebut di tingkat provinsi yang memiliki cakupan lebih luas dan kompleks dengan preferensi pelayanan kesehatan yang amat beragam.

Disisi lain, tawaran proporsi pendanaan provinsi vs. kabupaten/kota seperti Provinsi Sulawesi Selatan, akan menjadi masalah tersendiri terutama pada kabupaten/kota yang telah menerapkan pelayanan kesehatan gratis dalam berbagai bentuk implementasinya seperti JAMinan KESehatan DAerah (jamkesda) di Kabupaten Sinjai, paket bebas berobat di puskesmas di kota Makassar, pemberian insentif tenaga kesehatan dan peningkatan dana operasional di Kabupaten Pangkep. Hal ini, dapat mempengaruhi keseragaman proporsi dana bantuan kesehatan gratis antara provinsi vs. kabupaten/kota. Tawaran proposi pendanaan sebesar 40 : 60 antara Pemprov. Sulawesi Selatan dengan pemkab/pemkot, bisa menjadi polemik. Masalahnya, bisa tumpang-tindih pembiayaannya karena sumber dananya sama – APBD.

Data segmentasi tersisa warga yang belum ‘terlindungi’ atau belum mendapatkan jaminan kesehatan melalui Askeskin/Jamkesmas, Askessos & komersial, Jamsostek, JPKM,hanya sektor informal mampu (bukan kategori miskin/hampir miskin)  yang selama ini lebih suka menggunakan Fee For Service (FFS) melalui mekanisme pembayaran langsung (out of pocket money) mengutamakan kualitas layanan. Mereka tak tertarik jasa layanan kesehatan “inferior” (murahan dan mutunya rendah). Lantas, program unggulan “kesehatan gratis” untuk siapa ?.

Dalam konteks inilah studi prospektif pembiayaan kesehatan menjadi penting artinya untuk menjelaskan fenomena pembiayaan kesehatan yang bakal terjadi; Apabila bantuan dana program kesehatan gratis dilanjutkan bisa menimbulkan inefisiensi alokasi; Kemungkinan adanya surplus pengelolaan karena dana bantuan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat; Menafikan prinsip equity egaliter, di mana keadilan sosial tidak hanya berkaitan dengan hak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya (you get what you need) tetapi juga kewajiban membayar sesuai dengan kemampuan ekonominya; Berpotensi KKN karena mekanisme pengelolaan belum jelas (sumber pendanaan,  sistem klaim,  pembayaran langsung  dan pengawasan).  Di sisi lain, bisa kontra produktif karena menjadi “bulan-bulanan” aparat pemeriksa keuangan negara.

 ***

Berbagai fenomena menuju kepesertaan semesta (universal coverage) menurut Thabrany; Secara filosofis amanat Undang-Undang belum ada pemahaman yang seragam. Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak. Fasilitas fisik ?; “Apa yang miskin saja ?”. Terjadi pemahaman yang keliru tentang subsidi yang menyamakannya dengan bantuan. Seperti halnya, kewajiban disamakan dengan bantuan. Prinsip utama sistem kesehatan adalah ‘ekuitas’ dan ‘efisien’. Ekuitas (equity) di mana semua penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya tanpa melihat kondisi ekonominya.  Efisiensi yang berarti sistem kesehatan memaksimalkan dana sekecil mungkin dengan jaminan/manfaat (benefit) seluas dan sebaik mungkin; Masalah penerapan Pelayanan Kesehatan Nasional (National Health Service) belum mampu mengandalkan pembayaran melalui pajak secara nasional, baru sekitar 4 juta orang memiliki NPWP ditargetkan 10 juta orang. Pemotongan gaji yaitu sebesar 2 % dari gaji pokok belum signifikan; Sektor kesehatan pun belum mendapat proporsi yang layak selama beberapa dekade terakhir, rata-rata 2,5 % dari Product Domestic Bruto (anjuran WHO minimal  5 % atau setara 15 % APBN/APBD). Akhirnya, dana operasional fasilitas kesehatan dibebankan pada rakyat. Rakyat menjadi produsen SADIKIN (SAkit seDIkit jadi MisKIN).

Perkembangan cakupan jaminan kesehatan yang bersifat sukarela selama tiga dekade terakhir sangat lamban, hanya 20,6 % penduduk yang terlindungi oleh jaminan kesehatan (BPS, 2003). Namun sejak diluncurkannya Social Health Insurance (SHI) khususnya Askeskin terjadi lonjakan cakupan yang signifikan yaitu menjadi  40,5 %. Askeskin sendiri menyerap 60 juta masyarakat miskin di Indonesia.  Di Sulawesi Selatan misalnya cakupan jaminan kesehatan selain Askeskin masih sangat rendah hanya sekitar 8,9 % dari 41,5 % penduduk Sulawesi Selatan yang memiliki jaminan kesehatan.[3] Artinya,  masih ada sekitar 4.427.896 (58,5 %)  penduduk Sulawesi Selatan belum tercakup jaminan kesehatan. Cakupan kepesertaan semesta (universal coverage) mengisyaratkan minimal 80 % penduduk sudah tercakup jaminan kesehatan. Berdasarkan pengalaman penerapan kepesertaan semesta (universal coverage) asuransi kesehatan di banyak negara, ternyata  pendekatan askes sosial dengan single payer lebih efisien.

Strategi perluasan cakupan kepesertaan menuju universial coverage (2008 – 2015) mencakup; Iuran penduduk miskin/hampir miskin/sektor informal miskin dibayar oleh pemerintah dan pemda sesuai SJSN; Fokus perluasan pada pegawai swasta yang belum punya jaminan; Sektor informal hampir miskin/mampu bayar iuran dengan atau tanpa bantuan Pemda; Enforcement majikan yang memiliki karyawan mulai 10 orang;  Manajemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) lebih transparan dan berdasarkan kompetensi;  Majikan yang sudah membeli askes komersial bisa bergabung setiap saat, hal ini dapat menumbuhkan trust dan lebih efisien.

Secara teknis-operasional; Jaminan/paket harus memproteksi kesulitan ekonomi (bukan sekedar gratis berobat di Puskesmas dan perawatan  Kelas III RSUD); Besaran dana/iuran harus menjamin kecukupan dana (adequacy) untuk semua bahan; Dokter dan tenaga kesehatan lainnya harus mendapat imbalan sesuai keahlian dan pengalamannya.

Munculnya berbagai inisiatif pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk melakukan program “kesehatan gratis” merupakan faktor positif.  Meskipun secara politis terkesan tidak sejalan dengan kemajuan pengaturan  di  pusat.  Inisiatif  tersebut   perlu ditunjang  dengan  konsistensi, legalitas dan kemampuan teknis-operasional serta menjaga kebersinambungannya.

Prospektif pembiayaan kesehatan di Indonesia, haruslah memastikan bahwa rakyat terjamin kesehatannya.  Secara bertahap berbagai inisiatif pemerintah daerah perlu penyesuaian menuju sistem Asuransi Kesehatan Nasional (AKN). Jaminan kesehatan melalui AKN akan memberikan; Kepastian membayar iuran relatif kecil dan ringan saat produktif; kepastian mendapatkan pelayanan, seberapa pun harganya; Membentuk kekuatan untuk pengendalian biaya dan kualitas pelayanan kesehatan; mengurangi “birahi-korupsi” dan penyakit mental akibat ketidakpastian.

 ***

Sebelum ia mengucapkan  pidato  pengukuhan,   dirinya  beberapa  menulis  di  media  cetak bernada ironi  dan  balada  –  pelayanan  kesehatan  kaum  miskin,  sebut  saja  ‘Kesehatan Gratis :  Cuma Jasa Inferior;  “Balada  Si Miskin di  Rumah Sakit  Pemerintah” (2008).

Lalu, sesudah pengukuhannya   “Obama dan Jaminan Kesehatan  (2010). Tulisan-tulisan lepasnya disatukan dalam buku; “Politik Kesehatan  Gratis  :  Antara  Janji  dan Kenyataan”  (2010).

Ia memilih di seberang ‘ide’ penguasa. Menyendiri dari hiruk-pikuk birokrat. Menyingkir dari kesenangan,  diusik ‘penggoda’,  serasa di-‘bombe’ satu periode.  Ia siaga menerima ‘petaka para petapa’ – berteman sunyi.

Ia  yakin  (sebagai mahaguru),   ini  bukanlah   ‘pertandingan’   apalagi   ‘peperangan’.

Barangkali,  cuma  secuil  seruan agar  para ‘penggelar’  kesehatan gratis di jagat Indonesia mau   ‘kembali  ke jalan  yang  benar’  –  UU SJSN  menuju  kepesertaan  semesta  (universal coverage).

***

Bogor, 31 Desember 2013

 Akhirnya, orasi guru besarnya terlegitimasi, memperjelas ‘jarak –intelektual’ antara seorang “Professor” dengan seorang ‘Provokator’.

 KOMPAS.com- memberitakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan  meresmikan Badan Penyelenggara  Jaminan  Sosial  (BPJS)  Kesehatan  dan  meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Istana Bogor, Selasa (31/12/2013). 

 BPJS merupakan  implementasi  dari  Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN)  yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014. “Besok (hari ini), tanggal 31 Desember, dengan resmi saya akan meluncurkan kebijakan dan program besar ini,” kata Presiden seusai memimpin rapat kabinet terbatas persiapan terakhir BPJS di Istana Bogor, Senin (30/12/2013). 

 Terhitung  sejak  1 Januari 2014,  BPJS Kesehatan mulai  beroperasi untuk  menyelenggarakan JKN.  BPJS Kesehatan merupakan implementasi SJSN, yakni tata cara penyelenggaraan  program   jaminan  sosial  yang   bertujuan  menjamin  seluruh  rakyat  dapat   memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak. 

Keberadaan SJSN diharapkan akan melindungi masyarakat dari risiko ekonomi ketika sakit,  mengalami  kecelakaan kerja,  pada  hari  tua  dan  pensiun,  serta  kematian.  “Program jaminan  sosial  ini  juga  dijamin  Deklarasi  Perserikatan Bangsa  Bangsa  tentang  HAM  dan ditegaskan dalam konvensi ILO,” dalam siaran pers yang dirilis, Selasa.

Sementara pada  tahap kedua,  paling lambat  tanggal 1 Januari 2019, seluruh rakyat Indonesia telah menjadi peserta BPJS Kesehatan.

“BPJS Kesehatan  kita hadirkan  untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan Sosial   yang   bersifat  nasional  bagi   seluruh  rakyat   Indonesia.  BPJS  Kesehatan   juga  lebih fleksibel dan lebih mandiri dalam pengelolaan keuangannya,” ujar Presiden.