Simalakama BPJS Kesehatan ?

SIMALAKAMA BPJS KESEHATAN  ?                                                             

Oleh :   Amran Razak  [Guru Besar Adm. & Kebijakan Kesehatan , FKM-Unhas]

Membaca TAJUK harian Fajar (15/11/2016) berjudul : “Mengurai Kusut BPJS Kesehatan” menguraikan semakin melonjaknya kepesertaan BPJS Kesehatan, tetapi pembayaran lelet. Pembayaran besar dengan pendapatan kecil, pembayaran dana BPJS Kesehatan sering terlambat diterima pihak rumah sakit menyebabkan menurunnya pelayanan pasien BPJS Kesehatan.

Bahkan, tak jarang ditemukan layanan diskriminatif terhadap pasien BPJS di rumah sakit. Disamping itu, terjadinya pendarahan (bleeding) keuangan BPJS Kesehatan lantaran pengeluarannya lebih besar ketimbang pemasukan yang diterima. Kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ch. Situmorang, “sudah tahu besar pasak daripada tiang, kok berlanjut ?”.

Momok Verifikator ?            

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) tercatat kuota PBI APBD sebanyak 1.735.571 peserta, sementara data berdasarkan SK bupati/walikota sebanyak  1.537.134 peserta. Namun, setelah dilakukan verifikasi oleh BPJS hanya 1.371.915 peserta. PBI APBN sebanyak 3.104.474 peserta. Selain itu, mandiri dan jamkes lainnya sebanyak 1.878.325 peserta. Total peserta JKN Sulsel sebanyak 6.354.714 orang.

Verifikator BPJS ada di setiap rumah sakit bertugas menyelaraskan klaim rumah sakit dan aturan BPJS Kesehatan. Alasan klasik, masalah berkas tak pas sehingga tetunda pembayaran. Tarik menarik RS – BPJS merupakan dilemma berdasar ‘takaran’ kepantasan utilisasi layanan kesehatan yang diberikan. Di negara lain, keterlambatan pembayaran klaim dinilai sebagai bunga atas pembayaran tertunda. Silahkan menunda, bunganya jalan terus.  Di sisi lain, batas klaim rumah sakit belum ada, sehingga berpotensi terjadinya fraud” (kecurangan) oleh pemberi layanan yang berindikasi over utilization (overconsume).  Gejala lainnya adalah “adverse selection” dimana peserta bergabung hanya pada saat sakit, terutama penderita penyakit katastropik yang menelan biaya tinggi pelayanan kesehatan. Kebanyakan penderita penyakit katastropik adalah kalangan mampu, disinyalir penyerap terbesar dana BPJS Kesehatan.

BOK Menalangi ?

Salah satu akar masalah dalam pengelolaan BPJS Kesehatan adalah terjadinya ‘bleeding’, ‘mismatch’ atawa ‘ketekoran’ lantaran penarikan iuran/premi lebih kecil dibanding pengeluaran berupa tarif dan tingkat utilisasi sehingga mengalami defisit. Tekor karena iuran/premi yang berlaku tak sesuai hasil perhitungan aktuaris. Hampir semua kategori tekor mulai Penerima Bantuan Iuran (PBI), mandiri kelas 3 dan kelas 2, tekor sampai setengah hitungan aktuaris premi perbulan. Hanya iuran peserta mandiri kelas 1 yang ‘match’ atau sesuai hitungan aktuaria Rp 80.000 per orang per bulan. BPJS Kesehatan bagai buah simalakama – dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati ?.

Defisit tersebut sebenarnya sudah ketahuan sejak awal, sekitar Rp. 6,8 T sebesar APBD Sulsel 2016. Tahun lalu, defisit BPJS kesehatan sebesar Rp. 5,8 T. Sepertinya tak ada cara penyembuhan tercepat mengatasi defisit BPJS Kesehatan, kecuali suntikan dana dari pemerintah. Menyadari  fiscal space yang sempit, maka tak perlu kaget jika Menteri Kesehatan akan menggunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk menalangi defisit BPJS Kesehatan 2016.

BPJS Kesehatan sebagai suatu sistem jaminan kesehatan menuju Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) 2019, meski belum memadai masih diperlukan dalam memberi pelayanan kesehatan yang layak, merata dan berkualitas. Pelayanan kesehatan tak sekadar sebagai kewajiban negara (nawacita) tetapi juga sebagai hak esensial rakyat Indonesia. @

___________________________

Dimuat Harian Fajar (OPINI), Rabu 16 November 2016