TENANG TAK MENGELUH : In Memoriam Hidayat Nahwi Rasul

Hidayat Nahwi Rasul

 

Sabtu (20/07/2019) jelang siang. Warung kopi tenar “Phoenam” di bilangan Boulevard street, kami bertiga (Aswar Hasan, Pahir Halim, dan saya) berunding dan sepakat untuk  membezoek sohib Hidayat Nahwi Rasul (HNR) yang masih terbaring di RS Grastelina. Waktu itu,  jam baru menunjukkan pukul 11:10 pagi.

Saya pikir, “ini kesempatan terbaik bagi saya menempel pada teman se-warkop untuk membezoek  HNR yang sudah cukup lama  rawat inap di RS Grastelina”.

Saat siap-siap bergegas, tiba-tiba datang Yosi (adik kandung NHR).  Sejumlah ‘peserta tetap’  meja bundar (yang disakralkan itu), menyodorkan Yosi kursi untuk duduk tenang, lalu memberi informasi terkini kondisi kesehatan HNR. “Alhamdulillah, kak HNR kondisinya mulai membaik. Tapi, tangannya diikat karena selalu ingin melepaskan peralatan medis yang  menempel di tubuhnya”.

Informasi Yosi membuat kami bertiga lega.  Kelegaan itu, menyebabkan kami mengulur waktu, hingga kembali terjerumus dalam gemuruh percakapan para penikmat Phoenam yang melingkari meja bundar.

Namun saya berpikir : “Aswar akan meninggalkan kita berangkat ke Jakarta (menunggu pelantikan dirinya sebagai salah soerang Komisioner terpilih Komisi Penyiaran Indonesia)”. “Lagi pula, agenda penawar rindu pertemuan Forum Dosen (Fordos) nanti dimulai pukul 13:00 di Cafe Mama.”

Saya dan Aswar berusaha membujuk Pahir agar siap-siap membezoek HNR. Saya bergerak ke kasir warkop Phoenam menyelesaikan kewajiban tunai, dan meminta ampelove kosong.

Ketika hendak berangkat, tiba-tiba Pahir menengok jam tangannya :  “wah….ini sudah jam 11:40 Aswar. Waktunya sudah kasif.” Aswar menjawab : “… tapi khan masih ada 20 menit“, terlihat Aswar berharap. Pahir menanggapi : “tapi bos….perjalanan ke RS Grastelina memakan waktu tersisa”. Saya dan Aswar ….tappolo (pasrah). Ampelove kosong itu pun saya selipkan di antara koran yang berserakan di atas meja. Kami akhirnya sepakat akan membezok sohib HNR esok hari sesudah  car free day di sekitar boulevard street.

***

Sabtu (20/07/2019) malam sekitar pukul 22:09 Hidayat Nahwi Rasul menghembuskan nafas terakhir di ruang ICU RS Grestelina. Kabar meninggalnya sohib HNR mengisi semua WAG di mana HNR menjadi anggotanya. Media-media online pun susul-menyusul  berbagai judul menarik memuat berita duka berpulangnya ke rahmatullah seorang aktivis dan cendekiawan anyar  dari Sulsel bahkan level nasional sebagai salah seorang Ketua LDII Pusat.

Sontak isteri saya (satu-satunya), tiba-tiba menasehati saya berkali-kali seusai membaca  berita viral meninggalnya almarhum HNR : ” …. kalo mau bezoek orang sakit, jangan pernah ditunda-tunda.”

Itu pulalah sebabnya, berkali-kali saya japri Aswar, merasa sangat menyesal dan amat terharu menunda keinginan membezoek almarhum HNR… Aswar pun mengalami penyesalan yang sama. Stiker menangis dan menangis menutupi japri-japri kami berdua.

Inna lillahi wainna ilahi rojiun. Alfatiha.

Walikota Makassar, M.Iqbal Suhaeb mengunjungi rumah duka.

***

Saya selalu dijemput Jamal Bijaang  bertaksiah di kediaman keluarga almarhum HNR di jalan Landak VI di sebuah kompleks yang asri. Di malam pertama taksiah hingga malam ketiga ….. sahabat yang paling ditunggu sebenarnya Husain Abdullah. Di malam terakhir taksiah dirancang khusus agenda taksiah, tak mendengarkan ceramah agama tapi menampilkan sahabat-sahabat dekat HNR memberi testimoni. Ada tiga sahabat yang dianggap refresentatif : saya, Aswar Hasan dan (plt.) Ketua Meja Bundar warkop Phoenam …Annas GS Krg Jalling.

Saya mendapat giliran pertama (meski berulang kali saya sampaikan pada Arman Arfah dan Pahir agar jangan saya yang memberi testimoni). Sulit juga mengintrodusir testimoni buat almarhum HNR, lantaran saya mengenalnya sangat lama (awal 1980an – hingga kini).

Bermula dari sebuah rumah di sudut terdalam kompleks BTN Wessabbe (10 km dari kota,  di belakang Batalyon Kavaleri tak jauh dari kampus baru Unhas). Di situ, bercokol sekelompok mahasiswa Sospol (kalau tak salah milik Prof.Dr.A.Hafied mantan Rektor Unhas, yang ditinggali anaknya bernama Sam – Hafied Yunior). Di malam ketiga ini, salah seorang penghuni (Hendra) juga hadir taksiah. Di rumah BTN itu, lebih banyak mengalami lampu yang padam daripada menyala. Namun, segelap apapun isi rumah itu, anak-anak Sospol ini….lihay memasak mie telur ala kost/ Entah darimana sumber api memasaknya. Kami menyebutnya para “ahli sulap” dalam kegelapan malam !!.

HNR aktivis mahasiswa Unhas yang lebih getol menyodorkan gagasan melawan rezim Orde Baru. Tak heran jika almarhum jarang nampak di antara barisan demonstrasi mahasiswa. HNR telah menyelesaikan tugasnya mematangkan-dramatisasi pergerakan mahasiswa Unhas.

Saya katakan pada testimoni taksiah hari terakhir itu, sebagian memori kami tertulis dalam buku Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK) – 2015. Masa belasan tahun sebelum Reformasi ’98 bergolak. Tercatat antara lain : menolak Dwi Fungsi ABRI, menolak Penataran P4 bagi mahasiswa, menolak AMPI/KNPI, menolak Golkar masuk kampus. Teranyar menolak NKK/BKK sekaligus menolak kehadiran Dr.Daoed Joesoef (Menteri P dan K, kala itu). Sekularisme Perguruan Tinggi, dinilai almarhum sebagai ancaman yang harus ditangkis. HNR adalah pentolan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM; lembaga legislatif+yudikatif mahasiswa) di Fakultasnya.

Kebiasan diskusi almarhum HNR berlanjut setelah beranjak  ‘dewasa’. Dari kompleks Wesabbe kemudian berhijrah ke Kompleks Dosen Unhas Tamalanrea (H12). Di dalam buku reformasi 98-99, Uchenk lokasi diskusi ini disebutnya sebagai “Lapangan tiananmen”. Diskusi hingga larut malam bersama sejumlah suhu aktivis senior, selalu berakhir larut malam. Almarhum acapkali ditemani isterinya (menunggu berlama-lama di dalam mobil yang terparkir di sisi lapangan tiananmen). Saat-saat yang sama, saya sisa menunggu ‘kartu kuning  kedua’ dari  isteri untuk segera ‘balik-kanan’ tinggalkan lapangan tiananmen. Di sini, “terkadang saya merasa kalah” dengan kelebihan almarhum !!

Seingat saya, sejak kehadiran Lembaga Dakwah Islamyah Indonesia (LDII) di Sulawesi Selatan, saya selalu menempati jajaran terhormat dalam kepengurusan LDII, sebagai penasehat dan tim pakar.

Begitu pula, ketika saya menjadi Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang diminta Andi Alifian Mallarangeng untuk membantu merevitalisasi gerakan pramuka Indonesia. Saat itu, kami sedang membuat Undang-Undang Gerakan Pramuka agar status legasinya gerakan pramuka lebih tinggi dari  AD/ART menjadi  Undang-Undang (UU No 12 Tahun 2010). Di dalam UU 12/2010 tercantum pendirian Satuan Komunitas  (SAKO) tertentu. Bersama mas Prasetyo (usur Ketua LDII, mantan aktivis pergerakan mahasiswa ITB), kami mempersiapkan dan menyusun SAKO LDII yang memiliki pesantren di seantero nusantara. 

pramuka-ldii-bertemu-jokowi

Pengurus SAKO LDII bertemu Gubernur DKI, Joko Widodo

Sako LDII ini kemudian dikenal sebagai Sako Sekawan Persada Nusantara. 

Pramuka bagi LDII bukan hanya sekedar gerakan kepanduan atau berpetualang di alam. Namun, pramuka adalah sarana membentuk generasi mandiri LDII yang berkembang secara intelektual maupun spiritual. Pembentukan dan pengembangan karakter yang diperlukan bangsa Indonesia agar kembali menjadi bangsa yang kuat dan disegani.

Ketika saya ditunjuk Presiden menjadi Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), sohib Yayat (HNR) sebagai dedengkot LDII Pusat dan korwil daerah kembali menggagas Workshop Nasional Kemaritiman. HNR menghadirkan 10 pakar nasional. Di KKP, yayath HNR punya konco selain saya ada Sudirman Saad (Dirjen KKP). Almarhum piawai menggalang sponsor, terlihat keterlibatan yang amat serius dari Bupati Bantaeng saat ini, Nurdin Abdullah, dan menggandeng ICMI Sulsel .

ldii-bantaeng

 

Takdir Allah SWT,  memposisikan saya lebih sering ketemu yayat HNR (setelah kembali aktif di kampus Unhas dari pengembaraan di Jakarta). Saya mulai aktif di kelas Meja Bundar bertemu sobat lama Rusdin Abdullah (Rudal), prof. Husain,  Nadjib Latandang, Syamsuddin Umar, bang Hamid Gamasi, Husain Abdullah, Arman Arfah, Annas GS, Dokter Onasis, Jamal Bijaang, Aswar, Pahir, Andi Mangara,  Haris Jalante,  Hans Paliju, Tiar, Baso DN,  Ochank, Haeruddin, Buyung, Imran ESA, Nasrun Hamzah, Alamsyah Rahman, Nasrullah Mustamin,  Asdar Tukan, Akbar Endra dan Nawa, birokrat ulet (Supriansa), Rudi Lallo, Amir Maros, penggiat media (Anno, Mukramal, Acci, Ammank, Taqim, ADHI, Ilham Husain),  akademisi muda (Tiar, Atok Suharto), pengacara handal (Isdar Y, Firdaus D, Sulaiman, S), pengamat (Arqam Azikin), Enol, Josech, Rudy Almandary, Ahmad Arthur, Noor Korompit, Ancu Syamsul Bachry, Lukman, Nas,  Reza Makkawaru, Malik Chandra ….. hingga “juru gosok”. (mohon dimaklumi  (sekedar mengingat-ingat nama yang terlintas).  

Tak ayal, jika kelas meja bundar mulai usai, saya dan yayat HNR acapkali ketemu di toilet, memperhatikannya membasu muka, menata rambut, membangun kesan masih bugar…. melanjutkan perjalanan hidup almarhum. 

Sayangnya, saya tak pernah berhasil menerima petunjukan jitu selama percakapan di toilet Phoenam itu. !!! Seperti halnya, kegagalan saya melihat wajah almarhum berkeluh-kesah. HNR sepertinya tak pernah mengeluh !!

Inna lillahi wainna ilahi rojiun.

SELAMAT JALAN BROTHER, KAMI SELALU MENGENANGMU.

 

______________________________________

Catatan 1 : tulisan ini atas permintaan Bung Imran Hanafi dari Canberra, Australia. Imran semasa dengan HNR sebagai aktivitas mahasiswa Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Budaya (FIISBUD) gabungan Fak. Ekonomi, Fak. Sospol, dan Fak. Sastra.

Catatan 2 : “……. HNR almarhum adalah penggagas mahasiswa sosialism di Universitas Hasanuddin”, tulis Busman sambil tersenyum sedih di wag Poros Makassar,