ANAK PASAR, RAMADHAN DAN BALON WALIKOTA ?

Aku dibesarkan di kawasan tiga pasar tradisional; Pasar Terong – Pasar Kalimbu – Pasar Kulantu- kota Jumpandang. Pasar Terong yang terbesar sebagai pasar transit komoditas sayur-mayur dan buah-buahan. Lokasinya di Jalan Terong tepatnya berhadapan kampus lama Universitas Hasanuddin, Baraya. Pasar Kalimbu, pasar toea di persimpangan jalan Bawakaraeng dan jalan Veteran. Pasar Kalimbu, khas menjadi sentra penjualan panci, kompor, juga sayur-mayur, rempah-rempah dan perlengkapan perawatan jenazah – perlengkapan mayat. Pasar Kulantu, merupakan pasar mini tradisional, terletak di samping sekolahku tetapi lebih berdampingan dengan SDN 49 Baraya. Sekolah Rakyat di Kompleks Baraya memiliki tiga sekolah dasar; SDN 12, SDN 49 dan sekolahnya SDN 105.

Ketika musim buah-buahan tiba, seperti pisang, mangga, kedondong, pepaya, dan durian,  membuat suasana pasar Terong jadi sangat ramai di kunjungi. Baik pedagang mau pun konsumen rumahan. Aku sering diajak teman selorongku ke Pasar Terong. Kami saksikan buah-buahan segar yang baru tiba dari daerah, di bongkar di pinggiran jalan pasar dari mobil-mobil angkutan daerah penghasilnya. Muatan buah-buahan itu, dibiarkan berserakan di badan jalan dalam kelamnya malam. Setelah dibongkar, lalu disortir. Buah-buahan sortiran itulah yang menggoda kami memilikinya. Kami pun ikut memilah buah-buahan itu, mengamankan secukupnya dan membawanya pulang ke lorong. Tak jarang kami berbaur anak-anak pasar Terong menyortir buah-buahan. Menjelang subuh, buah-buahan itu sudah ditunggu para ‘pagandeng’– penjual keliling. Sisanya di masukkan ke pasar dan di jual perorangan.

Pasar Kalimbu, tergolong salah satu pasar tradisional yang toea di Makassar. Terkadang, ibuku meminta diriku membeli rempah-rempah, bumbu masakan di pasar itu, biasanya jelang sore. Kalau sudah sore harganya relatif lebih miring. Saat bulan puasa, beberapa warung di Pasar Kalimbu kadang terbuka. Tak heran jika ada juga orang-orang yang diam-diam menyelinap makan di warung tersebut. Di deretan rumah toko dalam pasar Kalimbu, aku punya teman sekolah. Sesekali kami bertemu bila melintasi jalan menuju SMANSA atau ketika pulang bersama dari sekolah. Sebenarnya aku suka sesekali melintas ke Pasar Kalimbu, menyeberang jalan Mesjid Raya memasuki jalan Lobak lurus ke lorong tembusan jalan Kubis melewati sisi rumah Alwy Rachman – seniorku di Fakultas Sastra, lalu menembus Pasar Kalimbu melintasi jalan Veteran masuk ke jalan Gunung Bawakaraeng ke arah barat sedikit melintasi jalan Gunung Latimodjong masuk SMANSA. Alasan utama aku suka melintasi lorong tembusan jalan Kubis karena di lorong pendek itu, berdiam seorang sahabat seperjoangan ayahku di pelabuhan, teman sejawat di  Direktorat Bea Cukai Makassar, bernama Arsyad Basir. Kala itu, Arsyad Basir bersama adiknya Latief Basir sangat terkenal sebagai pencipta lagu-lagu Makassar yang produktif. Anak-anak Arsyad Basir juga menjadi sahabat-sahabatku, sesekali aku bertandang di rumah sederhana mereka. Terkadang kutemani ayahku, ikut menikmati alunan lagu-lagu baru ciptaan Arsyad Basir dan Latief Basir di lorong tempat mereka berdiam.

Di Pasar Kulantu, beberapa anak pasar itu adalah teman sekolahku di SD kompleks Baraya. Terkadang ibuku berbelanja di pasar Kulantu kalau agak kesiangan untuk belanja di Pasar Terong. Pasar Kulantu menjajakan ikan segar selain sayur-mayur dan kebutuhan lainnya, terutama ikan ‘bolu’ – bandeng. Ikan di pasar Kulantu biasanya didatangkan dari pelelangan ikan – TPI Paotere.

Anak-anak pasar di ketiga pasar tersebut terasa bagian dari diriku. Mereka biasa terlibat dalam pertandingan sepakbola plastik di sebuah gudang tua – pabrik kapok Kelara  (kini : Gedung PKK Sulawesi Selatan), di seberang lorongku, di sisi jalan Mesjid raya. Pabrik kapok Kelara memiliki ruang terbuka dari tanah datar yang lumayan luas. Pertandingan sepakbola plastik, yang semula diikuti anak-anak sekitar lingkungan Baraya dan lingkungan Wajo Baru, semakin meluas dan semarak karena tim pesertanya juga berdatangan dari lingkungan lainnya di Makasar. Kami punya klub sepak bola bernama Kelompok Olahraga BARaya (KOBAR). Klub warisan senior kami, sepakbola pemuda Baraya. Kobar yunior memiliki straiker handal bernama Ki Hok. Anak keturunan Cina, tetanggaku yang tinggal di rumah besar – pinggir jalan raya Mesjid Raya persis di sudut depan lorongku. Ki Hok, bertubuh sedikit tinggi, agak kurusan, amat piawai mengolah bola dan menuntaskannya menjadi gol ke gawang lawan. Selain Ki Hok, Kobar memiliki satu straiker lainnya yaitu diriku. Aku suka bereksperimen mengolah bola menerobos gawang lawan atau berbagi dengan Ki Hok – sabahatku. Adik Ki Ho, bernama San berbodi sedikit gempal, padat, tapi tidak setinggi Ki Hok. San merupakan back-kanan yang handal. Ayah Ki Hok dan San adalah rumpun keluarga pengusaha  keturunan Cina terkenal di Makassar era 1970-an, ‘Go brothers’. Ayah mereka pedagang arloji bermerek di toko Go yang besar dan megah kala itu, di sudut kanan bagian barat lapangan Karebosi,  jalan Ahmad Yani – Kajaolalido – kini pasar swalayan Hawa Baru dan pizza ria.

Ketiga pemain utama Kobar ini, selalu menjadi tumpuan harapan para suporter dan dielu-elukan para penghuni lorong, apalagi saat pertandingan  memasuki babak final. Biasanya tim kami menjadi favorit, lebih seru lagi ketika kami sebagai juara bertahan. Pakaian para pemain Kobar, kami diupayakan sendiri. Kami bergerak bersama mencari pabrik baju kaos, lalu memberi wantek – pewarna pakaian sesuai warna pilihan kami, mencat nomor punggung pemain dengan cat minyak. Hasilnya lumayan keren.

Kompleks pabrik kapok Kelara, yang biasanya disebut  gudang kaukau – ‘gudang kapok’ merupakan tempat mangkal anak-anak lorong seusai sekolah [bisa jadi tempat bolos], tempat transit penjaja kue yang kesiangan karena dagangannya tak kunjung habis, dan tempat ngaso tukang becak. Di sisi tengah pergudangan itu, terdapat sebuah pohon amat besar, rindang, keramat, berumur lebih setengah abad. Pohon tersebut jadi peneduh dari terik matahari yang menyengat.

Syahdu Ramadhan

Anak-anak dan remaja lorong di sepanjang jalan Mesjid Raya selalu merindukan datang bulan suci ramadhan. Sepanjang bulan ramadhan, mereka bisa menikmati suasana ramadhan dengan penuh kegairahan.

Aku menjadi anak mesjid raya sejak tahun 1962 awal kepindahan keluargaku di lorong kambing – jalan mesjid raya, setahun sebelum aku masuk Sekolah Dasar. Bahkan, setahun sebelumnya aku sudah menginjakkan kaki di kawasan jalan mesjid raya, ketika masih ngontrak di rumah panggung jalan Lobak yang hanya berseberangan dengan lorong kambing – lorong 108. Jarak dari rumahku ke mesjid raya tak lebih dari 160 meter ke arah barat.  Mesjid raya jadi ‘sekolah’ kami di saat libur – ramadhan.

Di malam pertama tarawih, malam paling semarak. Anak-anak lelaki terlihat memakai pakaian gamis, kopiah hitam, songkok haji berwarna putih bersih, berselempang sajadah tipis. Anak-anak perempuan terlihat mengenakan talqum berwarna-warni sedikit norak, berjalan santai menuju area mesjid raya, Makassar. Mesjid Raya Makassar merupakan mesjid terbesar dan tersohor di Makassar sebelum dibangun mesjid Al-Markas Al-Islami tahun 1994. Mesjid raya dibangun tahun 1957 oleh M.Soebardjo. Ditahun itu pula, Presiden Soekarno sempat jumatan di Mesjid Raya.

Jamaah tarawih mesjid raya tak hanya berasal dari penduduk yang berdomisili di jalan mesjid raya, tetapi juga radius daerah sekitarnya seperti di bagian barat mesjid raya, jalan Andalas, jalan Bulusaraung, jalan Laiya, dan jalan Pa’jenekang, di bagian selatan jalan Latimodjong, jalan Cerekang, jalan Veteran dan jalan Bawakaraeng. Di bagian timur masjid raya dari jalan Bandang, jalan Lamuru, jalan Sembilan, lorong 108, lorong 108A, jalan Kandea, jalan Lobak, jalan Terong, jalan Kubis, dan jalan Sunu. Khususnya dari arus timur jalan mesjid raya, jamaahnya berasal dari kampong Baraya, Wajo Baru, Malimongan Baru, Kalukuang dan Maccini.

Remaja-remaja lorong di malam pertama tarawih, berpakaian gamis – trendi, mereka memakai pakaian sholat yang sudah dipersiapkan sejak lama, dibeli dari pinggiran Pasar Sentral. Corak warna menawan, berkilau menebar spirit ramadhan. Remaja lorong melimpah ruah memenuhi jalan, bahkan menguasai ruas jalan raya, berjejal sepanjang jalan Mesjid Raya hingga memasuki area mesjid. Ada juga di antara mereka, berjejal sekedar memandangi para jamaah tarawih yang melintas, berjalan teratur, sekonyong tergesa-gesa. Ada pula remaja sekedar mejeng di antara gerobak-gerobak penjual kue terang bulan dan martabak telor jelang tarawih. Sepanjang ramadhan, di jalan mesjid raya, semarak dihiasi gerobak penjual berjejeran. Lampu gerobaknya bersinar terang, bergelimang cahaya “stroomking” juga neon, berusaha menggoda calon pembelinya.

Di sore pertama ramadhan, di depan lorongku, beberapa ibu penghuni lorong kambing itu tak mau ketinggalan menjaja jualan mereka. Ada yang menjual manisan, asinan, es pisang ijo, es pallubutung, kolang-kaling, kue lapis dan kue penganan lainnya.

Saat jelang-remaja, bila bertarawih di mesjid raya sesekali aku dan teman-temanku suka usil, melintasi pembatas jamaah perempuan dan laki-laki terutama di kelompok remaja putri hanya sekedar ingin menyapa atau mempertontonkan sedikit keberanian. Keberanian untuk dikejar penjaga mesjid atau bos keamanan seorang pensiunan perwira polisi. Ketika tawarih berlangsung, suasana gaduh menghiasi gerombolan anak-anak lorongku, mereka terkadang saling sikut sambil tersenyum tipis, saling tarik baju atau sarung teman di saf sebelahnya. Di masa akhir bacaan surat al-Fatihah dari imam tarawih, untuk menyerukan “Amiiiiin !!! dengan berbagai suara yang sengaja dipanjang-panjangkan, diputar-putar, dilengkingkan atau dipatah-patahkan agar terdengar lucu. Anak-anak itu seakan berimprovisasi dalam seruan “Amin”  agar jamaah tarawih merasa geli.

Selesai tarawih, jalan sekitar mesjid raya mulai lengang. Mereka masuk ke rumah-rumah mereka di lorong, mengaso sejenak. Seusai mengaso, penghuni lorong kambing mulai berjejal memadati ruas lorong yang sempit. Mereka mengisi sisa malam dengan berbagai permainan, terkadang mengarah keperjudian. Bermain ‘King’, suara lantang berirama seseorang menyebutkan nomor-nomor tertentu yang sudah di lot. Lalu nomor-nomor itu, diurut, bila sebaris penuh – vertikal atau horizontal maka dia ‘king’ keluar sebagai pemenangnya. Pemenang pun berteriak, “Yech .. saya King.” Lalu nomor-nomor terurut itu dicocokkan. Persis, … menang !.

Biasanya pemenang mendapat hadiah tertentu, terkadang ditebus sejumlah uang. Semakin larut malam, semakin tua ramadhan, semakin seru permainan king.

Seusai sholat subuh di Mesjid Raya, remaja-remaja lorongku melanjutkan ramadhannya. Mereka melakukan safari tour ke pantai losari, berkelompok, riang gembira, kadang ada pula berpasangan berjalan bersama sang pacar, sesama anak lorong.

Suasana dua minggu pertama ramadhan amat semarak. Memasuki hari terakhir minggu kedua mulai terlihat kurang semarak. Apalagi seminggu memasuki lebaran, Jemaah Mesjid Raya yang setia hanya mereka berusia tua, para tetua lorong kambing. Anak-anak muda lebih banyak hanya bertebaran di sekitar mesjid raya, ‘mejeng’. Remaja cowok memasang ‘jebakan’, duduk menyamping di motornya. Remaja cewek bersolekfull, mondar-mandir, berlagak belanja apa saja melewati perangkap remaja pria. Sementara di sudut lain mesjid raya, anak-anak lorong itu tampak ceria, bergerombol, bermain, menari memainkan perlengkapan sholat mereka dengan saling memukul badan menggunakan sajadahnya.

Dalam semarak tarawih sepanjang ramadhan, sesekali terjadi juga gesekan, ekses persaingan antar sekelompok kecil remaja, penguasaan teritori mesjid raya, meski tak pernah berbuntut tawuran. Ekses tersebut bisa dilokalisir karena relatif masih saling mengenal walaupun berasal dari kampong atau lingkungan berbeda.

Remaja jalan mesjid raya, khususnya anak lorong kambing – lorong 108 dan lorong 108A, memiliki pencitraan tersendiri sebagai remaja santun dan terpelajar (mahasiswa), mereka disegani remaja-pemuda dari kampung – lingkungan lainnya seperti Kalukuang dan Mallimongan Baru (Malbar) yang terkenal daerah ‘jagoan’. Mereka  menguasai Pasar Kalimbu – pasar ‘rombengan’, Karebosi dan Pintu 2 pelabuhan Makassar tempat beraksi para pakocci – pencopet dan area transaksi pakappala tallang – penipu berlagak pelaut parlente dari luar negeri yang terlantar karena kapalnya tenggelam, perlu duit jadi ingin segera melego arloji Rolex-nya dengan harga miring. Siapa berminat ?.

Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, puluhan bulan ramadhan tak pernah terjadi gesekan antara remaja di sepanjang jalan mesjid raya ke arah timur melewati depan kampus lama Universitas Hasanuddin, Baraya. Mungkin terbius aroma kampus Unhas, perguruan tinggi negeri terkemuka di Kawasan Timur Indonesia itu. Teritori damai dan menyenangkan menunaikan tarawih di mesjid raya, mesjid terbesar di Makassar.

Sungguh indah suasana ramadhan seperti itu, liburan sebulan penuh melupakan suasana sumpek, guru yang garang di ruang-ruang kelas sekolah kami.

Sekarang, lebih ramai lagi (tak peduli bulan suci)……hampir setiap hari pasar tradisional  dan mesjid kecil-kecil, serta kedai kopi sarru’ di ujung lorong selalu disambangi bakal calon walikota dan kompoinya, mereka berkendara  mobil-mobil mewah  ….. penuh basa-basi. @pakappalatallang.com

___________________________                                                                                                                 Dikutip dari buku DEMONSTRAN DARI LORONG KAMBING (DDLK) – 2015