Dana Pandemi Covid-19 Kejepit Pemulihan Ekonomi Indonesia

Oleh :   Amran Razak  (Health Economics Specialist)

Sederetan negara kaya di dunia telah menggelontorkan dana yang besar berjumlah triliunan dolar atau ribuan triliun rupiah untuk menangani dampak wabah coronavirus (Covid-19) sejak pertengahan Maret 2020. Wabah covid-19 ini mengguncang perekonomian global ke arah resesi dan menimbulkan pembatasan gerak publik terbesar sejak Perang Dunia II.

Wabah virus Corona, yang menyebar pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, sejak Desember 2019, ini telah menginfeksi sekitar 4.985.825 kasus di 213 negara.  Jumlah total korban meninggal tercatat sebanyak 325.156 jiwa, yang mayoritas berada di Amerika Serikat, Rusia dan Spanyol. Di Indonesia terindikasi positif sebanyak 19.189 orang, korban meninggal tercatat 1.242 jiwa. Penambahan positif coronovirus sebanyak 693 pasien baru, memecahkan rekor terbanyak selama pandemi (20 Mei 2020).

DANA STIMULUS AWAL

Dana stimulus awal yang terbanyak menggelontorkan Amerika Serikat sebesar US $1 Milyar (Rp 15.400 Triliun); Inggris sebesar US $ 400 M (Rp. 6.200 Triliun); dan Jerman sebesar 350 M Euro (Rp. 5.920 Triliun). Australia mengeluarkan dana sebesar US $ 101,6 Milyar (Rp. 1.786 Triliun). Kemudian negara Asia seperti Korea sebesar 11, 7 Triliun won (Rp. 1.568 Triliun) dan Jepang sebesar 10,3 M yen (Rp. 1.473 Triliun). Negara tetangga Malaysia mengeluarkan dana sebesar 750 Milyar ringgit (Rp. 927 Triliun).

Pemerintah menambahan anggaran Rp 405,1 Triliun  dana stimulus III untuk penanganan Covid-19. Dana dialokasikan di 4 sektor guna menahan dampak pandemi ke sektor ekonomi dan sosial meliputi sektor Kesehatan sebanyak Rp 75 Triliun, perlindungan Sosial sebanyak Rp 110 Triliun, Pemulihan Ekonomi sebanyak Rp 150 Triliun, dan insentif perpajakan & stimulus KUR sebanyak Rp 70,1 Triliun. Sebelumnya, telah dianggarkan stimulus 1 sebesar Rp 10,3 Triliun dan stimulus 2 senilai Rp 22,5 Triliun.

Sejak awal Fadli Zon – Anggota DPR RI dari Partai Gerindra menyindir bahwa dari empat poin dana stimulus III tersebut, kalau dijabarkan, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp 220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi.

Lho, ini kan dalam kondisi darurat kesehatan, tapi kenapa belanja terbesarnya justru dialokasikan sebagai insentif ekonomi bagi para pengusaha?! Artinya, rakyat kecil mendapat stimulus lebih kecil ??

PENUMPANG GELAP ?

Dalam laman status pengamat dan gurubesar ekonomi politik FEM-IPB, Didin S. Damanhuri mengurai ‘keanehan” pembengkakan dana stimulus IV  (terbaru) senilai Rp 900,1 Triliun. Anehnya, sektor Kesehatan 75 Triliun (tetap), Perlindungan Sosial 110 Triliun (tetap), relaksasi bunga pinjaman dan pajak UMKM 70,1 Triliun (tetap). Tetapi Biaya Pemulihan Ekonomi yang semula 150 Triliun ternyata membengkak menjadi 43 M US$ (The Jakarta Post ; dengan kurs Rp. 15.000,-) maka menjadi sebesar Rp. 645 Triliun. “Ini biaya yg sangat kolosal, terutama untuk anggaran Pemulihan Ekonomi (termasuk bantuan untuk BUMN seperti Pertamina, PLN,  Bulog yang puluhan Triliun dst), risau Didin.

Harus diwaspadai kalangan Swasta Raksasa yang bisa jadi Penumpang Gelap, maka tidak mustahil bisa jadi “Skandal BLBI Jilid 2” (jilid I thn 1998 yg menghabiskan 650 Triliun, sekarang sudah jadi lebih 1000 Triliun yang merupakan Utang kepada Publik Dalam Negeri)…”, tulis  Didin.

SKENARIO KETIMPANGAN PROPORSIONAL ?

Bila dihitung besaran proporsi pemulihan ekonomi dengan total dana stimulus baru tersebut sebesar 71,66 persen lebih dari 2/3 jumlah dana stimulasi. Proporsi sektor kesehatan sendiri dengan total dana stimulan hanya sebesar 8,3 persen saja. Jerman stimulus penanggulangan wabah dibanding total dana yang disediakan sebesar 42,9 persen. Korea Selatan proporsinya 19,7 persen. Australia proporsinya 17,3  persen. Proporsi dana stimulan III Indonesia dengan sektor kesehatan sebesar 18,5 persen menyamai Korea Selatan dan Australia. Meskipun proporsi ini tidak menggambarkan keterpenuhan kebutuhan dana yang sesungguhnya (real costs).

UTANG PEMERINTAH ANCAM KEDAULATAN NKRI ?

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Kamrussamad menilai utang pemerintah sudah membahayakan kedaulatan NKRI. Menurut Kamrussamad, dalam 48 hari atau sejak 1 April s/d 18 Mei 2020, utang pemerintah bertambah Rp 635 triliun atau selama pandemi coronavirus menyerbu.  “Sehingga secara keseluruhan senilai 5.583,8 Triliun jika data yang dipakai utang pemerintah Februari 2020 lalu, yaitu senilai Rp 4.948.8 T,” “Diperkirakan masih akan terus bertambah karena fundamental krisis kesehatan masih belum sepenuhnya terkendali. Kita berharap penggunaan dana pinjaman tidak dikorupsi,” Kamrussamad menambahkan.

Selain berharap dana pinjaman tersebut tak dikorupsi, Kamrussamad juga mempertanyakan penyerapan anggaran kesehatan senilai Rp 75 Triliun dan insentif untuk UMKM dan pemulihan ekonomi senilai Rp 270 Triliun.

“Apakah sepenuhnya sudah terserap? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Apakah sudah efektif, tepat sasaran, serta mampu menggerakkan secara sektoral?,” tambahnya. Perubahan postur APBN dilakukan dua kali dalam satu bulan kata Kamrus-samad   menunjukkan  Menteri Keuangan diragukan dalam memotret kondisi ekonomi dan menentukan indikator ekonomi dalam merumuskan kebijakan fiskal. “Kita sudah ingatkan agar memiliki data yang terintegrasi sebagai basis pengambilan keputusan supaya tidak prematur dalam menyusun postur APBN,” ujarnya.

“Ini kenyataan yang harus diterima pelebaran defisit tanpa batas maksimal dalam PERPPU 1 Tahun 2020, dan pada akhirnya berpotensi membahayakan kedaulatan negara karena beban utang pemerintah sangat besar bahkan melampaui ratio utang standar internasional yang di tetapkan sejumlah lembaga keuangan dunia seperti IMF,” tukasnya.

Menurut  Kamrussamad, indikator kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411.

*Foto : Tribun Timur/ Sayyid Zulfadli Saleh Wahab