Kabinet Covid-19 Pasca Lebaran

    Foto :  Kabinet Normal

Oleh : Amran Razak                                            

Kegembiraan berhari raya idul fitri sebagai hari kemenangan, hari penuh pengampunan. Hari raya idul fitri bermakna dalam sebagai kembali ke fitrah. Fitri  yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, keburukan dari akar kata fathoro-yafthiru. Idul Fitri disebut juga dengan istilah “lebaran”. Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan. Lebur artinya lebur dari dosa. Dalam bahasa Makassar disebut “lappasa” berarti lepas dari bulan penuh ujian.

Pandemi Covid-19  sebelum dan sesudah bulan suci ramadhan, telah memberikan banyak kejutan. Angka-angka yang disebut setiap siang oleh juru bicara Covid-19 Achmad Yurianto, selalu miris. Angka-angka kematian, suspect, PDP, ODP, dan OTG yang bertebaran di pasar-pasar tradisional, di jalan raya, di terminal, di stasiun kereta, di toko-toko kampoeng-pribumi seakan memberi gambaran peta kelemahan kita melawan Covid-19.

Para panglima perang (menteri terkait Covid-19) diuji ketangkasannya memerangi Covid-19, upaya taktis melandaikan kurva pandemi Covid-19. Sayangnya, sejak awal sejumlah panglima tinggi kementerian, bahkan penguasa tertinggi pun terlanjur meremehkan ‘serangan tanpa wujud’ coronavirus.

Padahal, balatentara coronavirus bergerak jauh dari Wuhan, Tiongkok. Malah coronavirus masih sibuk melakukan expansi ke negara tetangganya dan ke benua besar lain. Artinya, ada jeda untuk menyusun agenda perlawanan. Masa jeda itu, tak digunakan untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap serangan coronavirus ini, seharusnya hanya memakan beberapa minggu, sehingga kasus tidak memuncak, dan bisa dilakukan dengan biaya yang masuk akal, sehingga akhirnya bisa menyelamatkan ribuan nyawa anak negeri. (Pueyo, 2020)

Jika memakai teropong kebijakan publik William Dunn (1994; 2015), mengamati respon kesiapan menteri terkait, ketidaksiagaan mereka terlihat tanpa agenda menangkal serangan Covid-19, meleleh dalam formulasi kebijakan, ogah mengadopsi pilihan negara lain dan lemah legitimasi (pusat dan daerah). Akibatnya, keteteran dalam penilaian dan evaluasi,  sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak Covid-19.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), akhirnya terbit untuk tidak memilih lock down atau karantina wilayah, aroma politiknya lebih kental dari aspek kesehatan dan ekonomi. Melonggarnya bahkan dihentikannya PSBB di beberapa daerah seakan menyerahkan pengendalian Covid-19 pada pasukan berani mati — “herd-immunity”. Terserah Anda !!!

Baca juga: https://www.amranrazak.com/kaum-yang-merana-di-sepanjang-pandemi-covid-19/

The New Normal  merupakan ajakan pemerintah agar masyarakat “berdamai” dengan Covid-19. New normal adalah berperilaku sehat menghadapi pandemi Covid-19 dengan menjalankan protokol kesehatan WHO. Protokol kesehatan tersebut antara lain selalu menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer, menggunakan masker saat keluar rumah, physical distancing atau menjaga jarak dengan orang lain minimal satu meter, serta menjaga kesehatan dengan asupan gizi seimbang dan berolahraga secara terjadwal.

Dampak arus The New Normal, terutama akan dirasakan pekerja lepas, alumni baru perguruan tinggi memasuki lapangan kerja, setidaknya merana selama tiga periode kepemimpinan nasional sebagaimana kaum milenial Amerika Serikat.

Betapa berat arena The New Normal itu,  karenanya hanya menteri-menteri yang normal (teruji saat pandemi Covid-19) yang ‘layak’ memasuki The New Normal. Resuffle kabinet menjadi hadiah lebaran dari Presiden Jokowi menjanjikan suasana baru yang normal, menawarkan menteri-menteri yang tanggap dan gesit menghadapi pandemi Covid-19. Track record menteri yang kurang normal selama pendemi Covid-19 menjadi ‘kartu merah’ atau kartu kuning tebal.

Darurat Kesehatan Masyarakat

Setidaknya, ada tiga poin utama yang bisa dimaknai dari dentuman Darurat Kesehatan Masyarakat. Pertama, menetapkan wabah virus corona (Covid-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat

Kedua, menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan kriteria peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ketiga, menjadikan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagai Era Baru Kesehatan Masyarakat (The New Era of Publich Health) dimana menempatkan  “Public health in the Center of National Development” selaras pembangunan ekonomi bangsa. Saatnya melakukan  Reformasi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mengantisipasi fenomena penyakit-global lintas negara-lintas benua. Meningkatan perilaku hidup sehat dan produktif (paradigma sehat). Dalam konteks inilah dibutuhkan Kementerian Kesehatan Masyarakat (Kemenkesmas) dengan merubah nomenklatur Kementerian Kesehatan yang terlihat lebih dominan kuratif-preventif. Bisa pula, Kemenkesmas menjadi kementerian tersendiri.

Desakan resuffle  juga meluncur dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Menurut PSI masalah yang ada di depan mata, tantangan yang makin besar yang membutuhkan tidak hanya kerja keras, tetapi juga kompetensi dan keberanian mengambil keputusan di tengah krisis,” kata Juru Bicara PSI Dara Nasution (minews, 18/5/2020)

“Terkait reshuffle saya kira harus cepat terealisasi. Karena kan ukurannya jelas sekali, sekarang misalnya mau bicara data bansos amburadul, mau ngomong hukum kacau, mau bilang transportasi saling tumpang tindih, mau bicara kesehatan apalagi,” ucap Saiful Anam, pakar politik dan hukum Universitas Nasional (hajinews.id, 24/5/2020).

Resuffle kabinet merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo. Kita tunggu kado lebaran dari Presiden kita ….tercinta. !

Selamat Datang, Kabinet Covid-19 di kawasan New Normal !!!

_______________________

Penulis adalah alumnus “Management Methods for International Health”, School of Public Health in School of Medicine, Boston University, Massachusetts, USA.

Tulisan ini telah disetujui dimuat dalam buku : COVID-19 :  Virus, Bisnis, atau Konspirasi ; Suara Forum Dosen Multi Perspektif Covid-19 (Dari Gugatan Kemanusiaan hingga Kebijakan), penerbit Forum Dosen Majelis Tribun Timur – Kompas-Gramedia Group (Juli, 2020)