Izinkan Saya Memanggilmu OPU

Oleh : Goenawan Monoharto

 Saya mengenal Yayath Pangerang ketika  kami sama –sama remaja di lingkungan kesenian. Ia anggota Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM) sementara saya di Teater Studio Makassar.  Karena kami selalu bersama di Benteng Fort Rotterdam  maka saya dan yayath  terbilang akrab, seperti halnya dengan kawan-kawan yang lainnya  Ajiep Padindang (sekarang Senator/Anggota DPD–RI), Yudhistira Sukatanya (Ketua Sanggar Merah Putih), Ridwan Efendy (Alm) dan Prof. Amran Razak ketika itu masih mahasiwa,  Patta Nasrah, Yus Rosaidi, Baso Natsir, Hasymi Ibrahim dll.

Suatu ketika pada masa itu Budayawan dan orang Kesenian ingin nama kota Ujungpandang dikembalikan ke nama Makassar. Dengan berbagai seminar dan pertemuan dilakukan oleh budayawan seperti Mattulada, H.D.Mangemba, Rahman Arge, M. Ramto, Arsal Alhabsy dan Aspar Paturusi, M.Anwar Ibrahim (alm) dari Dewan Kesenian Makassar (DKM),  juga Prof. Zainal Abidin Farid, Prof Fahruddin Ambo Enre dan sejumlah nama lainnya.

Bersama A.Yayath Pangerang Mahasiswa Kelas sore UNHAS yang ketika itu masih berkampus di Baraya, kami selalu terlibat di diskusi seru untuk mengambil bagian dalam proses mengembalikan nama Makassar. Siang hingga sore menjelang magrib, kami  selalu kumpul di Benteng Rotterdam. Beberapa anggota kelompok teater sedang aktif latihan sesuai jadwal, Sanggar Merah Putih, Teater Benteng, Teater Studio juga beberapa grup lainnya. Hadir pada waktu Ajiep Padindang, A.Yayath Pangerang, Yudhistira Sukatanya, dan Zulkifli Amin – Lepidus (nama dari tokoh drama Caligula). Entah mengapa. mendadak kami berinisiatif mengumpulkan anak-anak teater untuk turun ke jalan (katakanlah teater jalanan) untuk ikut mendesak pemerintah kota  agar segera mengembalikan nama Makassar dari Ujungpandang.

Keesokan harinya pada waktu yang sama, sore, kami siap mementaskan teater jalanan dengan judul “Tikus-Tikus”. Sekitar lima puluhan anggota teater berusia remaja kami kumpulkan dan melibatkannya pada pementasan. Dengan memakai kostum hitam-hitam kami memulai pementasan tersebut dari depan rumah Walikota Makassar jalan Durian (Losari). Direncanakan pertunjukan akan berakhir di Benteng Fort Rotterdam.  Seperti demonstran pementas menggunakan ikat kepala dan siap memakai pamplet dari kertas karton manila ditulis spidol hitam besar bertuliskan meminta pengembalian nama kota Makassar. Maka dengan senyap (istilah sekarang) rombongan kami mulai mentas dengan berjalan kaki menyisir jalan tepi pantai Losari sambil mengangkat poster/pamflet. Adegan yang diperagakan antara lain mencari tikus-tikus yang bersembunyi, di gorong-gorong, dot, pohon-pohon nyiur, di tanggul pantai dan di mana saja sebagai simbol mencari untuk mengungkapkan kebusukan perilaku orang-orang pengambil kebijakan yang tidak peduli pada aspirasi warga.

Apa jadinya?. Ternyata sebelum sampai di Benteng Fort Roterdam sebagai titik akhir pementasan, sebuah mobil patroli Komtabes (mobil yang kami sebut dengan mobil bombe-bombe- saling bermusuhan, karena kursinya yang terletak dibagian bak belakang mobil saling membelakangi.) mencegat kami. Setelah berdebat dan bernegosiasi dengan A.Yayath Pangerang. Anggota teater yang masih remaja dibolehkan pulang, tapi kami berempat (Yayath, Yudhi, Goenawan dan Lepidus) akan digelandang ke Kantor Polisi di Jalan Balaikota. Kami menolak ketika akan dinaikkan ke mobil patroli, tapi berjanji akan datang sendiri. Janji itu langsung kami tepati. Setiba di Komtabes dengan nyali (ala pejuang Harimau Indonesia.. hehehe) berempat kami diinterogasi oleh Bagian Binmas ketika itu dijabat oleh Polisi Arif Wangsa. Maka terjadilah diskusi sengit antara kami dengan Pak Arif Wangsa. Dengan alasan kami menganggap yang paling “jago” berdiskusi saat itu A.Yayath Pangerang dan Yudhi. keduanya kami ajukan. Ketika tiba pada pertanyaan “Siapa penanggung jawab kegiatan?” kami jawab ‘tanggung jawab bersama’. Sampai malam terjadi diskusi tentang “tanggungjawab bersama” yang disanggah pihak kepolisian yang mengatakan tidak ada itu “tanggungjawab bersama”. Kami bersikukuh bahwa sebagaimana dalam membela Negara, “tanggungjawab bersama itu ada dan nyata” (wow keren).

Akhir diskusi Pak Arif Wangsa  dengan bijak mengatakan ‘sebenarnya saya akan menahanmu, tapi karena kamu anak kesenian yang berani bertanggungjawab maka saya lepaskan dan jangan lagi “mentas” di jalan itu mengganggu masyarakat’. Maka pulanglah kami dengan busung di dada. “Kemenangan anak muda” versi kami. Berempat kami  menuju Markas Besar Sanggar Merah Putih Makassar di Jalan Gunung Lompobattang 135. Di sana telah menunggu sejumlah anak teater yang menyambut kami dengan bangga dan haru. Untungnya Komtabes yang mengambil kami, bayangkan kalau tentara?

Selang beberapa waktu kemudian dengan melalui keputusan DPRD nama kota Ujungpandang diganti dengan Makassar. Dan dalam rangkaian proses itu, kami tentu hanya titik air di lautan perjuangan kembalinya nama Makassar. Tak banyak yang tahu episode ini.

Beberapa  tahun  kemudian, di masa jelang reformasi kami berkesempatan kumpul kembali. Ada rasa ingin turun ke jalan tapi sama-sama merasa ‘ngeri’ mengamati fenomena yang terjadi. Kami harus cermat menghitung baik-buruk keadaan. Sebab masa itu masa Orde Baru tak ada satu pun kelompok yang dibiarkan demontrasi (turun ke jalan) kalau pun itu terjadi maka akibatnya hanya satu bermuara di KODIM dengan segala ancaman kesengsaraan tubuh yang pasti dialami. Tapi pada akhirnya seniman Makassar tetap dengan berani ikut dalam gelombang gerakan mengawali proses reformasi hingga di panggung orasi lapangan Karebosi Makassar.

Oh, ya beliau lah yang memprovokasi saya untuk keluar dari kepengurusan Karang Taruna di tahun 1980-an. Ketika itu saya menceriterakan bahwa saya pengurus Karang Taruna Bismar yang ketuanya Arbianto Syamsuddin Dg. Lau (alm). Saya sudah lupa apa masalahnya waktu itu ia meminta saya keluar dari Karang Taruna dengan kalimat-kalimat yang sinis. Mungkin karena fenomena makin massifnya anak muda dimobilisasi jadi komponen Orde Baru dengan pola ideologi tunggal. Tetapi ia mendukung saya tetap berada di di kegiatan drumband pramuka Gudep 8-9 Ratatama Koang- Kodam XIV Hasanuddin.

***

Suatu masa Yayath Pangeran banyak berada di Sulawesi Tenggara, maka jaranglah kami jumpa, ketika  saya sibuk dengan kewartawanan. Suatu pagi tiba –tiba beliau datang ke rumah ketika itu saya masih tinggal di jalan Rappocini Lr, 1 No. 11 Makassar. Ia meminta tolong pada saya untuk dipinjamkan komputer untuk me-lay out  tabloid. Saya persilahkan menggunakan komputer Pentium 4 MMC. Bung Yayath seharian di rumah hingga sore. Ketika itu isteri saya Esi ke luar bersama anak-anak. Dengan memakai ruangan dalam ia mulai bekerja dengan segala berantakannya dan abu rokok yang berhamburan.

Tak banyak dialog ketika itu, ia hanya bercerita bahwa motor yang ia pakai  adalah motor pinjaman. Sontak saya teringat “tabiat” Yayath, sering meminjam kendaraan, terkadang hingga berhari-hari dan lupa mengembalikan, bukan karena sengaja, tapi memang lupa di mana ia parkir dan siapa punya kendaraan itu. (jadi teringat kisah cucut-Abdi Bashit dan Ali Samad (Alm) yang motornya dipinjam Yayath dan ketika mogok, kemudian dititipkan disalah satu bengkel. Tentang keberadaan motor itu tak terdengar kabarnya lagi.) Untung saja saya tidak pernah jadi “korban” pinjam kendaraan Yayath, sebab memang pada waktu itu belum punya motor. Kalau pun ada yang biasa digunakan, motor  Binter milik Ajiep Padindang.

Selesai pekerjaan me-lay out tabloidnya, ia pamit dan berterimakasih mengirim salam buat isteriku Esi yang memang ia kenal baik. Namun setelah kepulangannya itu, akibatnya membawa soal baru di rumah, hampir terjadi perang panjang dalam rumah tangga saya dengan isteri.

Sore, Esi pulang dari rumah orang tuanya ia mengatakan kenapa rumah berantakan. Tapi itu tidak jadi masalah sebab saya langsung membereskannya. Tetapi Ketika Esi masuk kamar mandi, ia “menemukan” dua softex di lantai. Tak dapat dielak sial itu,  Esi mendamprat saya dengan mengatakan; “siapa perempuan yang datang, mengapa ada softex?  ‘Saya tidak tahu, Yang datang tadi hanya Yayath  jawabku’”. Memang saya tidak tahu. Maka panjanglah masalah softex yang ada ada di kamar mandi.  Neraka  dunia  langsung menimpaku.

Beberapa hari kemudian jumpa dengan Yudhi dan Dewi menceritakan persoalan itu. Maka merekalah yang menjernihkan kembali masalah itu. Terungkaplah bahwa ‘Yayath  memang memakai Softex sebab saat itu ia melepas kateternya’, ucap Dewi dengan santai.

Oh  Opu Yayathku, ia selalu bilang pada saya, Gun tak usah kau  panggil saya Opu, katanya beberapa bulan lalu di lobby sebuah hotel di jalan Sulawesi , ketika masih sangat sehat sepulang dari Kalimantan bersama Patta Nasrah dalam rangka menghadiri pernikahan putra Patta Nasrah. Tapi maaf, kali ini, izinkanlah saya memanggilmu Opu, sebagai penghargaan pada persahabatan kita yang sudah berlangsung begitu lama dengan mengesankan. Kita toh punya kisah tak terlupakan.

Selamat  jalan Sahabatku.

Gallery de La Macca,  akhir 2020.