Lennya’i Gondronge …..

Oleh : Sawedi Muhammad

Diawali dengan sebuah pertemuan singkat di Malili di akhir tahun 2003, persahabatan saya dengan almarhum Andi Moch. Yayath Pangerang (kak Yayath) terus berlanjut, sampai akhirnya beliau berpulang untuk selamanya tanggal 10 Desember 2020. Selama saya bekerja di Sorowako sebagai karyawan di sebuah perusahaan pertambangan, komunikasi kami berlangsung sangat intens. Kadang berlangsung menegangkan karena ketidaksepahaman terhadap beberapa hal, kadang diwarnai keriangan karena suka cita, bahkan beberapa momen kami lewati dengan air mata kesedihan. Hubungan kami begitu akrab, sehingga apabila keluarga dekatnya mencari beliau dan tidak ketemu, maka mereka menghubungi saya untuk menanyakan dimana gerangan kak Yayath berada.

Ada sebuah persitiwa menegangkan terjadi. Sehari sebelum akad nikahnya di Kolaka tahun 2005, kak Yayath dinyatakan “menghilang”. Rumpun keluarga perempuan dan keluarga besarnya di Malili sangat panik karena calon pengantin tidak diketahui keberadaannya. Saya pun menjadi sasaran untuk dihubungi. Opu Hatta, saudara kandung dari ibu kak Yayath yang saat itu menjabat sebagai Bupati Luwu Timur (Lutim) menelpon saya di tengah malam menanyakan di mana keberadaan Yayath. Untungnya, sebelum dinyatakan menghilang, saya sempat berbicara dengan kak Yayath lewat handpone seorang kawan yang mengawalnya selama di Kolaka, yaitu Listan. Kak Yayath meminta kepastian (meminta saya) untuk sampai di Kolaka besok pagi karena mobil yang saya pakai dari Sorowako akan dihias sebagai mobil pengantin. Saya infokan ke Opu Hatta kalau kak Yayath ada di Kolaka dan bersiap lahir batin mengikuti akad nikah esok paginya. Opu Hatta kemudian lega sekali dengan berita yang saya sampaikan. Beliau kemudian berseloroh dalam bahasa Bugis, “Lennya’i gonrongge, de’namelo’ iteppa gemma’na”. Gondrong menghilang karena enggan rambutnya dipotong. Kak Yayath memang sengaja “menghilang”  karena menghindar dari fatwa Opu Tua (Andi Hasan) Ketua DPRD Lutim waktu itu agar sebelum akad nikah, rambut gondrong itu hendaknya dipangkas agar lebih rapi.

Esok paginya akad nikah berlangsung khidmat dengan rambut tetap gondrong. Ijab kabul berlangsung lancar tanpa pengulangan. Orang-orang dikagetkan dengan hentakan suara menggelegar dari kursi belakang, sesaat setalah ijab kabul. “Ewako”, seru Iskandar Pasajo (kak Acos) yang jauh-jauh datang dari Makassar bersama isterinya tercinta kak Intan.  Orang-orang pun serempak tertawa sambil bertepuk tangan, menyambut pengantin baru dengan penuh suka cita.

Waktu terus berjalan, kak Yayath balik ke Malili dan memboyong isteri tercintanya, Dewi. Di Malili, sepasang pengantin baru ini tinggal bersama ibunda yang sangat dicintainya, Andi Nurmi. Kami biasa menyapa perempuan yang sangat bersahaja dan berkharisma itu dengan panggilan Opu Ummi. Kegiatan kak Yayath di Malili begitu padat. Ia menjadi “penasihat” utama Opu Hatta, sekaligus membantu beberapa SKPD di kabupaten menyusun program-program strategis pembangunan daerah. Di samping itu, kak Yayath juga pernah kami gunakan keahliannya untuk menjadi konsultan CSR di perusahaan. Beliau sangat memahami anatomi relasi yang tidak selalu bersahabat antara perusahaan dengan berbagai pemangku kepentingan di Lutim, termasuk dengan Bupati Lutim.

Lewat keahlian dan penguasaannya terhadap situasi dan kondisi sosio-kultural Lutim, kak Yayath kami kontrak untuk melakukan pemetaan stakeholder di empat wilayah pemberdayaan perusahaan yaitu Malili, Towuti, Wasuponda dan Nuha. Melalui Yayasan Nusa Celebes Center (NCC) yang didirikannya, kak Yayath beberapa kali melakukan studi dan mapping mengenai kondisi mutakhir di Lutim. Hasil studinya kami paparkan ke eksekutif perusahaan dan semua merasa sangat puas dan terpukau dengan kajian dan rekomendasi yang sangat objektif dan masuk akal. Beberapa inisiatif dari perusahaan lahir dari rekomendasi kak Yayath, terutama mengenai upaya taktis dalam menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan kontraktor lokal, tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda maupun strategi komunikasi dengan pejabat kunci di kabupaten Lutim.

Sebagai seorang figur yang sangat dihormati dan disegani di Lutim, kak Yayath mampu menjadi mediator yang sangat handal dalam menjembatani berbagai persoalan sosial antara perusahaan dan masyarakat. Ditambah dengan kemampuan komunikasi yang par excellence, kak Yayath sering kali berperan sebagai “dewa penyelamat” yang mempertemukan perbedaan persepsi dan kesalahpahaman antara perusahaan dan pemangku kepentingan di lingkar tambang. Salah satu ‘legacy’ dari kak Yayath adalah menjadi Ketua Pusat Pengaduan Masyarakat saat bendungan DAM  Karebbe dibangun sekitar tahun 2006-2007. Seluruh permasalahan sosial berupa isu tenaga kerja, kontraktor lokal, ganti rugi lahan, banjir dan tanah longsor ditangani oleh kak Yayath dan timnya. Meski terdapat beberapa isu kritikal, semua permasalahn dapat ditangani dengan baik sampai bendungan DAM Karebbe diresmikan di tahun 2009.

Di tengah berbagai kesibukannya, kak Yayath tetap tidak lupa hobbinya berkesenian. Di acara-acara khusus di kabupaten, kak Yayath beberapa kali mengundang sahabatnya Asdar Muis untuk hadir di Malili untuk melakukan pentas seni, pelatihan teater untuk anak-anak sekolah dan juga pelatihan jurnalistik. Asdar Muis memang dikenal sangat dekat dengan kak Yayath. Setiap mengundang Asdar Muis ke Malili, saya yang selalu diminta memfasilitasi tiket pesawatnya. Waktu itu, pesawat carter perusahaan setiap harinya terbang dengan rute Makassar-Sorowako. Perjalanan lewat darat dari Makassar ke Malili dibutuhkan waktu sekitar 10 jam dengan kondisi jalan yang tidak semuanya mulus. Makanya, setiap kali diundang ke Malili, Asdar Muis selalu minta naik pesawat. Beberapa kali saya “terpaksa” memfasilitasi pesawat Asdar Muis karena permintaan dadakan. Pernah  Asdar Muis menelpon ke saya kalau sudah di bandara Makassar tapi ternyata namanya tidak ada di list penumpang ke Sorowako. Asdar Muis menyampaikan kalau Kak Yayath sudah mengurus seat pesawat berikut akomodasinya di Guest House perusahaan. Mungkin karena kesibukannya sehingga kak Yayath tidak menyampaikan ke saya jauh hari sebelumnya.

Selain aktif berkesenian, kak Yayath juga tetap aktif di dunia gagasan dan ide-ide. Dalam penyusunan RPJMD kabupaten Luwu Timur, kak Yayath pernah mengundang beberapa pemikir handal dari Makassar ke Malili. Dr. Abd.Hamid Paddu, Alwy Rahman dan Bachrianto Bahtiar adalah konsultan utama yang diundang ke Malili untuk merumuskan RPJMD kabupaten. Terjadi peristiwa menegangkan waktu itu, karena malam sebelum konsultan ini balik ke Makassar kak Yayath menelpon untuk dibantu seat pesawat untuk tiga orang ke Makassar besok pagi. Saya gelagapan dengan permintaan dadakan tengah malam. Untungnya, seat pesawat untuk mereka bertiga masih tersedia.

Demikianlah kak Yayath sangat aktif mengundang sahabatnya untuk datang ke Malili dan Sorowako, tidak hanya sekadar reuni tetapi turut berpartisipasi membangun kampung halamannya. Diantara sahabatnya yang sering bolak-balik ke Sorowako-Malili di sekitar tahun 2007-2008 adalah Prof. Amran Razak. Guru Besar  Ilmu Kesehatan Masyarakat ini diminta khusus untuk melakukan pengkajian mengenai strategi kesehatan masyarakat berbasis preventif.  Atas permintaan Opu Hatta, perusahaan kemudian meminta khusus Prof. Amran Razak untuk meneliti dampak pengobatan gratis dari perusahaan ke pola hidup sehat masyarakat di Sorowako. Waktu itu, perusahaan mengeluarkan biaya untuk membayar dokter spesialis sekitar 40 juta/bulan atas jasa konsultasi bagi masyarakat yang berobat ke Puskesmas. Di samping itu, perusahaan juga mengeluarkan biaya pembelian obat sekitar 5 milyar/tahun untuk pengobatan gratis. Perusahaan tidak dapat meyakinkan masyarakat untuk mengalihkan dana besar itu untuk keperluan yang lebih bermanfaat. Kontribusi dari studi Prof. Amran Razak adalah berhasil meyakinkan masyarakat dan pemerintah untuk menempatkan dokter spesialis di Puskesmas Sorowako serta mengalihkan dana 5 milyar/tahun untuk pembelian obat gratis ke program kesehatan yang bersifat preventif.

Dari sekian banyak fragmen kehidupan yang saya lewati dengan almarhum, salah satu yang tak terlupakan adalah saat menghadiri pementasan perdana ‘I La Galigo” di Taman Mini Indonesia Indah di bulan Desember 2005. Saat itu kami berangkat dari Makassar bersama Asdar Muis dan Iskandar Pasajo. Saya waktu itu memesan 4 kamar di Hotel Mulia, Senayan. Asdar Muis dan Iskandar Pasajo meningglkan hotel tengah malam karena tidak bisa tertidur di atas kasur hotel yang sangat empuk. Yang sangat menyiksa adalah mereka tidak tahu menggunakan fasilitas kamar mandi hotel yang serba elektronik. Ketika Asdar Muis dan Iskandar Pasajo habis buang air besar, mereka tidak tahu bagian mana yang dipencet untuk flush dan bersih-bersih. Mereka juga tidak terbiasa mandi dengan memakai shower. Mereka terbiasa dengan mandi pakai gayung dari air di bak mandi. Besoknya mereka mengumpat dan memaki saya karena telah menginapkan di hotel yang membuatnya sebagai pesakitan!

Ceritera hotel Mulia belum selesai. Setelah pertunjukan di TMII usai, saya kemudian ke Bandung untuk cuti beberapa hari bersama keluarga. Sesampai di Bandung, saya mendapat telpon dari reseptionis hotel kalau ada tagihan yang harus dibayar sebesar 3,5 juta. Saya sampaikan kalau semua tagihan di kamar sudah  diselesaikan saat check out. Reseptionist tersebut kemudian menjelaskan kalau tagihan itu bukan dari kamar yang saya tempati tapi dari kamar atas nama Andi Moch. Yayath Pangerang. Saya penasaran menanyakan apa yang dipesan kak Yayath sehingga tagihannya sebesar itu. Reseptionis hotel kemudian menjawab dengan sura lirih, “ini masih untung pak, hotel tidak terbakar. Hanya separuh karpetnya yang hangus”. Rupanya kak Yayath merokok di kamarnya dan membuang puntung rokoknya sembarangan. Tanpa berpikir panjang, saya meminta nomor rekening hotel Mulia dan hari itu juga saya transfer ganti ruginya. Dalam hati saya, sangat untung karena hanya separuh karpet yang terbakar. Saya tidak sanggup membayangkan kalau seluruh hotel terbakar karena puntung rokok kak Yayath dan saya dminta membayar ganti ruginya! Insiden hotel Mulia itu tidak pernah kami perbincangkan. Saya cukup memahami bagaimana paniknya kak Yayath yang hampir membakar seluruh hotel dengan puntung rokoknya.

Setelah saya resign dari perusahaan di Sorowako tahun 2011, hubungan dengan kak Yayath tetap berlanjut. Almarhum tetap dengan kebiasaanya mengundang teman-teman terbaiknya untuk datang ke Lutim memberi masukan untuk pembangunan daerah. Suatu waktu kak Yayath memperkenalkan saya dengan Dr. Rusdian Lubis, seorang environmentalis senior yang pernah mengajar di Unhas, berpengalaman di ADB dan pernah menjadi salah satu eksekutif di PTFI. Kami bertemu di Salonsa, kompleks perumahan perusahaan sesaat sebelum Dr. Rusdian terbang ke Makassar. Dari pertemuan di Salonsa, saya kemudian beberapa kali bertemu dengan Dr. Rusdian Lubis, membahas berbagai hal mengenai isu lingkungan di Indonesia kaitannya dengan keadilan dan kesenjangan sosial. Beliau bahkan pernah menawarkan peluang untuk mengikuti salah satu program pertukaran intelektual yang sangat bergengsi di Amerika Serikat. Demikianlah kak Yayath, selalu antusias untuk memperkenalkan teman-temannya yang bukan orang sembarangan. Selalu menyemangati untuk selalu berpikiran kritis tetapi tetap objektif-rasional.

Konsistensi terhadap sikapnya yang objektif dibuktikannya berkali-kali. Terakhir kami intens berkomunikasi di bulan Juni tahun 2020 saat bersama-sama menghadiri diskusi lewat aplikasi zoom mengenai gonjang-ganjing pembelian saham PT. Vale oleh Inalum. Kami berdua menegaskan bahwa jual beli saham adalah peristiwa bisnis biasa. Kami ingin menyampaikan ke seluruh peserta bahwa kalau pemerintah daerah ingin mendapatkan saham PT. Vale seperti kabupaten Mimika dapat saham dari PTFI, maka kabupaten harus melakukan lobby intensif ke pemerintah pusat, khususnya kementerian ESDM. Hanya dengan cara-cara elegan seperti inilah, pemerintah daerah dimungkinkan untuk mendapatkan pembagian saham dari Inalum. Pendapat ini bertentangan dengan opini sebagian besar peserta zoom meeting untuk melakukan penekanan dan provokasi ke masyarakat agar mendesak PT. Vale menyerahkan sebagian sahamnya ke pemerintah kabupaten. Setelah selesai zoom meeting, kak Yayath menelpon saya menyampaikan kalau diskusinya sangat luar biasa. Hanya saja perlu kehati-hatian karena banyak pihak yang tidak mengerti masalah apa yag sebenarnya terjadi dan bagaimana menghadapinya.

Chat WhatsApp terakhir kak Yayath tertanggal 26 Agustus 2020, mengabarkan kalau ingin mendengarkan secara langsung perbincangan saya dengan Bang Sem di radio Salam. Sesudahnya saya tidak mendapatkan infomasi apa pun tetang kak Yayath. Saya kemudian sangat shock begitu  Prof. Amran Razak menyampaikan kalau kak Yayath telah berpulang. Saya langsung lemas dan tidak bisa berkata-kata. Membalas ungkapan duka di facebook pun rasanya tidak sanggup. Pada akhirnya saya terpanggil menulis persentuhan saya dengan kak Yayath atas desakan dari Prof. Amran, dan saya tak sanggup menolaknya.

Selamat jalan kakakku Andi Moch. Yayath Pangerang.

Kami mencintaimu, tetapi Alah lebih menyayangimu.

Innalillahi Waina Ilaihi Rojiun.

 

Makassar, 18 Desember 2020.