KRITIS Vs. KRISIS DALAM LINGKAR MERAH COVID-19

Para ahli kesehatan masyarakat menyatakan, Indonesia menghadapi lonjakan kasus penyebaran virus corona atau covid-19, lantaran lambannya respons pemerintah dan terkesan menutupi terkait skala wabah di negeri berpenduduk sekitar 260 juta jiwa, yang merupakan terpadat keempat di dunia tersebut. Hingga Selasa (7/4/2020), Indonesia tercatat memiliki 2.738 kasus pasien positif corona,  terlapor 221 kematian. Artinya tingkat kematian kita 8,1  persen. Hal ini menunjukkan Indonesia masuk deretan kasus kematian tertinggi akibat virus corona di dunia. Bandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina (4,7 %), Malaysia (1,6%), Thailand (1,2 %), atau Singapura (0,4 %) bahkan Vietnam, Kamboja, Laos dan Timor Leste tanpa kematian (0 %).

“Kita telah kehilangan kendali, ini telah menyebar di mana-mana,” kata ‘ayatullah’ ilmu ekonomi kesehatan (health economics)  di Indonesia – Ascobat Gani. “Mungkin kita akan mengikuti Wuhan atau Italia. Saya pikir kita berada dalam kisaran itu.”

Sistem kesehatan Indonesia sangat buruk dibandingkan dengan negara lain, yang terkena dampak virus corona. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Indonesia hanya memiliki 321.544 tempat tidur rumah sakit. Angka itu berarti sekitar 12 tempat tidur per 10 ribu orang. Bandingkan dengan Korea Selatan (Korsel) yang memiliki 115 per 10 ribu orang, menurut World Health Organization (WHO).

Pada tahun 2017, WHO juga menemukan Indonesia hanya memiliki empat dokter per 10 ribu. Angka itu lebih rendah dibandingkan Italia yang memiliki 10 kali lebih banyak, atau Korea Selatan yang memiliki dokter enam kali lebih banyak per kapita.

WHO mengatakan, hanya ada 28 juta perawat di seluruh dunia, sehingga ada kekurangan 5,9 juta untuk merawat penduduk yang tumbuh dengan pesat. Kekurangan perawat terbesar ada di negara berpenghasilan rendah hingga menengah termasuk Asia Tenggara.

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto membantah tentang hasil studi simulasi yang menunjukkan angka terburuk penularan corona. “Kita tidak akan sampai seperti itu,” kata Yuri merujuk perbandingan wabah yang menyebar di Italia dan China. “Yang penting adalah kita mengerahkan orang-orang … mereka harus menjaga jarak.” Yuri menuturkan, dengan langkah-langkah menjaga jarak yang tepat, seharusnya tidak ada kebutuhan untuk tempat tidur tambahan dan staf medis yang ada cukup untuk mengatasi wabah corona.

Hanya saja, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Budi Waryanto, mengatakan, “Rumah sakit tidak siap untuk mendukung kasus-kasus yang bakal muncul. Perawatan akan terbatas.”

Hasil riset terbaru dari Christian Bommer dan Sebastian Vollmer di Universitas Göttingen University, di Jerman bisa menjadi  alarm bahaya bagi penduduk dunia terkait jumlah kasus virus corona atau covid-19 di dunia. Keduanya mengungkap bahwa jumlah kasus yang ditemukan di dunia diprediksi hanya sebagian kecil yang terungkap.

Keduanya menemukan data dari hasil penelitian bahwa angka yang terungkap itu bahkan hanya 6 persen dari total kasus virus.

Disebutkan dalam hasil penelitiannya, angka total infeksi virus corona jenis baru SARS-CoV-2 tersebut diperkirakan jauh lebih banyak dari data yang tercatat resmi oleh pejabat kesehatan sedunia.

Mereka menganalisa data dari hasil penelitian paling anyar yang dipublikasikan dalam jurnal bulanan The Lancet Infectious Diseases.

Kedua peneliti melihat perkiraan tingkat kematian Covid-19 dan jangka waktu antara laporan pertama terinfeksi hingga saat kematian, untuk asesmen kualitas laporan kasus resmi.

“Data menunjukkan, negara-negara di dunia hanya menemukan sekitar 6% dari seluruh kasus infeksi virus corona“, papar kedua peneliti Jerman itu.

Bila dilihat dari  jumlah keseluruhan kasus infeksi corona yang telah dilaporkan saat ini di Indonesia, maka angka sebenarnya bisa mencapai 45.600 orang.

Ilmuwan dari Universitas Göttingen itu mengklaim, jumlah sebenarnya dari orang yang terinfeksi virus corona sedunia, mungkin sudah mencapai puluhan juta.

“Hasil ini menunjukkan, pemerintah dan pembuat kebijakan perlu ekstra hati-hati  jika menafsirkan jumlah kasus untuk tujuan perencanaan“, kata Vollmer, profesor ekonomi pembangunan di Universitas Göttingen.

“Perbedaan ekstrim dalam jumlah dan kualitas tes yang dilakukan di berbagai negara, menunjukkan bahwa catatan kasus resmi kebanyakan tidak informatif dan tidak menyajikan informasi yang membantu“, ujar guru besar itu memperingatkan.

Dampak Ekonomi Covid-19

Perintah diwakili Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa skenario terburuk akibat  pandemi virus corona yang sampai hari ini terus terjadi, diperkirakan perekonomian Indonesia berpotensi tumbuh negatif 0,4% pada tahun ini. Bahkan, yang mengkhawatirkan, bahwa angka tersebut bisa menurun lebih dalam dibandingkan skenario terburuk sebelumnya yang sebesar 0 persen.

Sementara untuk skenario berat, ekonomi domestik diperkirakan hanya tumbuh 2,3 persen di tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5 persen. Proyeksi-proyeksi tersebut bahkan jauh di bawah target dalam APBN 2020 yang sebesar 5 persen. “Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan skenario lebih buruk minus 0,4 persen,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam video conference, Rabu (1/4/2020).

Dia melanjutkan, pandemi COVID-19 mengakibatkan kegiatan ekonomi menurun, bahkan berpotensi menekan lembaga keuangan. Hal ini lantaran sejumlah kredit yang tak bisa dibayarkan oleh masyarakat akibat terdampak virus corona.

Skenario terburuk bisa terjadi jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, menjadi 3,2% dalam skenario berat, hingga 1,6% dalam skenario sangat berat.

Kemudian, pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya tumbuh 6,83% atau 3,73% yang berpotensi meningkatkan defisit hingga 5,07%. Hal ini diikuti dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga turun 1,78% hingga 1,91%. Penyebab lainnya, yakni kinerja investasi yang kurang positif, hanya tumbuh 1% atau bahkan menurun 4%. Selanjutnya, ekspor yang menurun tajam 14% hingga 15,6%, serta impor turun 14,5% hingga 16,65%.

Selain itu, dari sisi nilai tukar rupiah diprediksi mencapai Rp 20.000 per dolar AS dalam skenario sangat berat.

Sementara skenario berat kurs bisa mencapai Rp 17.500 per dolar AS di tahun ini. Proyeksi tersebut juga lebih tinggi dari target dalam APBN 2020 yang hanya Rp 14.400 per dolar AS. Inflasi pun diproyeksi meningkat hingga 5,1 persen di tahun ini untuk skenario sangat berat dan 3,9 persen untuk skenario berat. Angka ini juga jauh di atas target sebesar 3,1 persen dalam APBN 2020.

Di bagian perekonomian yang paling terkena dampak pandemi corona. “Ini karena dari sisi konsumsi mereka tidak melakukan aktivitas ekonomi,” kata Sri Mulyani.

Tak hanya itu, Sri Mulyani juga menyebut, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga merupakan sektor yang terpukul. Korporasi juga akan mengalami tekanan dari sisi rantai pasokan dan perdagangan. Hal ini kemudian akan merembet ke sektor keuangan.

Karena itu, ia berkomitmen bahwa pemerintah bersama BI, OJK, dan LPS akan terus bersinergi dalam mengatasi dampak pandemi corona terhadap perekonomian.

APBN &  Pademic Bond : Untung Siapa ?

Menarik membaca pernyataan Fadli Zon Anggota DPR RI dari Partai Gerindra bahwa dari tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19, ada empat poin yang diajukan pemerintah, yaitu (1) kesehatan, (2) social safety net, (3) insentif perpajakan, dan (4) program pemulihan ekonomi nasional.

Dari empat poin itu, kalau kita baca penjabarannya, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp 220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi.

Lho, ini kan ini kondisi darurat kesehatan, tapi kenapa belanja terbesarnya justru dialokasikan sebagai insentif ekonomi bagi para pengusaha?!

Dari empat poin tambahan belanja dan pembiayaan yang totalnya Rp 405,1 triliun tadi, terlihat poin terakhir mengenai pembiayaan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional yang nilainya mencapai Rp 150 triliun perlu diawasi secara ketat. Apalagi hasil  paparan Menkeu, hanya poin tersebut yang tak ada penjelasannya, padahal porsinya mencapai 37 persen, tulis Fadli. Kita masih teringat pada pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis 1998, justru dana BLBI  itu dibawa kabur ke luar negeri. Karena itu, harus ada jaminan bahwa insentif untuk kepentingan perusahaan dan tenaga kerja dalam negeri.

Kamrussamad – anggota DPR RI Partai Gerindra ketika Raker Komisi XI DPR RI dengan Menkeu secara virtual mempertanyakan : “Kenapa ada skema penyertaan modal ke BUMN dalam penyaluran paket kebijakan fiskal pandemik Covid-19 ?. Jangan sampai ada hubungan dengan Jiwasraya dan Asabri serta Bumiputra,” papar alumni Fakultas Teknik Industri – Universitas Muslim Indonesia (FTI-UMI).

Seperti diberitakan (rmol.com, 8/4/2020) Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan surat utang dengan denominasi dolar saat pandemik Covid-19. Ada tiga jenis surat utang yang diterbitkan. Total nilai mencapai 4,3 miliar dolar AS atau setara Rp 68,6 triliiun dengan tenor terpanjang mencapai 50 tahun.

Ketua Majelis Jaring Aktivis Pro Demokrasi Iwan Sumule heran dengan langkah Sri Mulyani menerbitkan surat utang yang diklaim terbesar dalam sejarah RI tersebut. Sebab, tenor yang lama akan membuat generasi penerus bangsa (anak-cucu kita) ikut ketiban tanggungannya.

“Seolah adanya Covid-19 jadi kesempatan untuk menutupi bobroknya pengelolahan uang negara. Iya gak sih?” katanya.

Sebelumnya, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna menilai Pandemic Bond ini sebagai akal-akalan.

Sebab, pemerintah bisa mencari dana itu dengan menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 160 triliun, Dana Abadi Pemerintah, Badan Layanan Umum, dan anggaran refocussing berdasarkan Peraturan Presiden.

Pemerintah juga bisa mengambil tambahan anggaran sebesar Rp 89,472 triliun atau 19,2 persen dari anggaran proyek pembangunan ibukota baru di Kalimantan. Bahkan, bisa ditambah lagi dari alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN 2020 sebesar Rp 419,27 triliun.

“Penjumlahan anggaran domestik seperti itu, sudah cukup besar untuk antisipasi efek wabah Covid-19. Dan, saya agak yakin, dari sisi kesehatan APBN akan lebih aman dan defisit anggaran APBN 2020 tidak akan melebihi angka patokan 3 persen sesuai UU,” kata M.Pakkanna.

Dia menyayangkan pemerintah tidak ambil jalur ini dan memutuskan mengambil jalur lain dengan menambah utang luar negeri (ULN). Caranya menerbitkan Pandemic Bond yang akan disupport oleh lembaga-lembaga keuangan swasta multinasional.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, pandemic bond ini bisa membantu perekonomian Indonesia. Salah satunya bisa digunakan dalam bentuk suntikan negara atau Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN.

“Mereka bisa dalam bentuk PMN. PMN itu kita masukkan dalam neraca dari BUMN yang selama ini dapat PMN. Bisa cash, non-cash. Itu selama ini dilakukan. Kami menebitkan ini dalam rangka untuk menjaga pembiayaan secara aman,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (7/4/2020)

Dia melanjutkan, pandemic bond nantinya bukan untuk menambal defisit APBN melainkan untuk menjaga ketahanan ekonomi dan sistem keuangan domestik. “Pandemic Bond dimasukan salah satu instrumen yang letaknya below the line. Artinya dia bukan defisit dari APBN akibat penerimaan dikurangi belanja, tapi below the line, artinya resources yang dicadangkan untuk negara dalam rangka menjaga kemungkinan domino effect yang bisa mengancam ekonomi dan sistem keuangan kita,” katanya. (ekbis.sindo.com, 7/4/2020)

Sekedar mengingatkan, tulis WA seorang gurubesar Moneter & Perbankan Universitas Hasanuddin, “Semakin berat sepertinya kondisi negara kita, jika semua otoritas menggantungkan nasibnya dengan Utang Luar Negeri  (ULN) yg terus membengkak. Masalahnya, bisa dikatakan tidak ada negara lagi yang tidak krisis, nah gimana kalo kemudian antara negara-negara tersebut juga terlilit utang…???. Jadi, luar biasa – jika ada negara besar bisa jadi sinterklas ditengah resesi dunia ?”.

Jadi ingat kala penulis mengampuh mk. Ekonomi Internasional (1977/78), dosennya berkata ; “Tak ada Bantuan Luar Negeri (BLN) yang tak menyertakan gejala bawaan.” Waktu itu, kami menandai gejala bawaan tersebut sebagai virus-kapitalis ganas.

Darurat Solidaritas Orang Kaya & Politisi !

Kita amat tergugah dan menabur takjub ketika, menyaksikan berita TV di mana orang-orang kaya di berbagai negara maju (yang terlanda pandemi corona) menjejerkan bahan sandang-pangan berlimpah-ruah di sepanjang jalan dan trotoar  agar masyarakat bisa mengambilnya secara leluasa.

Di negeri kita bahkan di lingkungan terdekat kita, kelompok alumni, majelis taklim, jamaah mesjid, jamaah gereja dan kelompok keagamaan lainnya, institusi perguruan tinggi, instansi pemerintah, kaum muda (mahasiswa dan pelajar), dan lainnya. Kita berbangga dan merasa masih memiliki ‘kebahagiaan tersisa’, bahwa solidaritas sosial – kegotongroyongan rakyat sebagai buktinyata partisipasi yang tulus dalam kebersamaan. Merasa tak terusik hirukpikuk Pilkada serentak.

Prinsipnya, kita sepakat dunia usaha perlu diberi insentif di tengah krisis. Namun, bila kita lihat Perppu No.1/2020, misalnya, tidak melakukan apapun bagi wajib pajak kaya perorangan. Padahal, inilah momentnya Pemerintah menggalang solidaritas golongan superkaya di Indonesia. Jangan hanya orang-orang miskin dan menengah ke bawah saja yang diharapkan solidaritasnya. Orang-orang super kaya di Indonesia, telah [dan akan] dimanjakan oleh berbagai peraturan yang memihaknya.

Orang-orang superkaya dan tokoh-tokoh partai politik sepertinya melakukan “isolasi mandiri” lebih awal tanpa menunggu instruksi pemerintah.

Untuk menjaga hati rakyat, sebaiknya Pemerintah segera tarik Omnibus Law Cipta Kerja, batalkan agenda pemindahan ibukota, termasuk proyek-proyek infrastruktur yang tak mendesak. Gunakan anggaran tersebut untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat. Sebab, di dalam Perppu tertuang bukannya memotong anggaran infrastruktur dan pemindahan ibukota,  memotong dana abadi pendidikan.

Presiden RI periode 2004-2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan wabah corona (Covid-19) yang tengah melanda Indonesia dan juga dunia merupakan suatu ujian berat bagi semuanya. Khusus bagi pemerintah, sedang diuji apakah  secara moral memiliki empati yang tinggi terhadap rakyatnya. (hajinews.id, 8/04/2020)

Kita beri apresiasi yang tinggi terhadap kebijakan Pemerintah seperti pemotongan tagihan listrik, atau penundaan tagihan kredit, memberi sembako, bantuan tunai dan sebagainya. Semoga realisasinya merata dan sesuai dengan harapan rakyat.

Kita amat menghormati dan memberi penghargaan yang tinggi kepada para tenaga medis dan paramedis yang berada di garda terdepan memerangi virus corona (Covid-19), para aparat keamanan yang menenteramkan masyarakat agar patuh mengikuti aturan pemerintah.

Kita berbangga, bahwa solidaritas sosial – kegotongroyongan rakyat sebagai buktinyata partisipasi yang tulus dalam kebersamaan.

Ada pesan-pendek WA Nurarifah – dosen muda Departemen Manajemen dan Administrasi Rumah Sakit (MARS) FKM-Unhas, ditulis seusai membaca sebuah journal bereputasi : “We find that cities that intervened earlier and more aggressively do not perform worse and, if anything, grow faster after the pandemic is over.” (Kami menemukan bahwa kota-kota yang melakukan intervensi lebih awal dan lebih agresif  tidak berkinerja lebih buruk dan, jika ada, tumbuh lebih cepat setelah pandemi berakhir).

 #JANGAN LUPA, BAHAGIA !

#pertapaan Bukit Baruga, 08/04/2020

  ________________________________         

Penulis :  Amran Razak  – Guru Besar Ekonomi Politik Kesehatan, FKM-Unhas

ilustrasi-bumi-pakai-masker-foto-diambil-dari-pixabay