Selalu Ada Jarak

Jelang tiga hari berlalunya kepergian almarhum Prof.A.Amiruddin, begitu banyak orang menulis tentang almarhum di berbagai media. Selama tiga hari itu pula, desakan menulis tentang almarhum terus menusuk kalbunya.

Masalahnya, kenangan dirinya bersama almarhum Prof. A. Amiruddin akan terasa berbeda dengan tulisan orang-orang yang ‘merasa dekat’ dengannya. Ia ingin menulis dengan judul SELALU ADA JARAK.

Jarak itu amat terasa, ketika jasad almarhum dikerumuni pelayat di rumah duka jalan Hertasning, sejumlah petinggi dan pesohor berdesakan. Mereka (anak-anak nakal almarhum saat beliau jadi Rektor Unhas). Di tengah kerumunan itu, ia cuma bisa memandang berjarak dari sosok almarhum. Tak bisa melepas duka, menunggu dan menunggu, lalu membiarkan waktu berlalu.

Selama ini, silaturahmi sejumlah senior dan sahabatnya dengan Prof. Amir selalu terencana. Mereka masih sering ngumpul Prof. Amir, terutama mantan pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) periode Taslim Arifin dan kelompok 12 – keputrian (kelompok Satu Dua). Meski setahun terakhir amat jarang bertemu karena pertimbangan kesehatan Prof. Amir. Ia sendiri lebih jarang lagi bertemu Prof Amir. Kerinduannya bak tulisan kehilangan judul.

Tak heran, jika suatu ketika, ia menjadi kelabakan ingin bertemu Prof. Amiruddin. Tak tahu harus memulai dari mana ?, tapi alasannya sudah ada. Saat itu, ia menuju rumah almarhum di bilangan strategis Bukit Baruga, Antang – sebuah pemukiman cukup asri di Makassar. Seingatnya saat itu, sekitar jam 10.00 pagi, di kediaman Prof. Amir dia disambut isteri almarhum.

Semula istri almarhum, agak berat mempertemukan dirinya dengan Prof. Amiruddin yang baru saja beranjak ke lantai dua hendak istirahat di kamarnya. Tetapi setelah dirinya berhasil jelaskan maksud dan tujuannya; bahwa ia akan Pengukuhan Guru Besar. Kehadiran Prof. Amiruddin sangat berarti. “Saya jadi Professor karena beliau tidak sempat memecat saya, karena itu Pengukuhan Guru Besar nanti – sebenarnya adalah pengukuhan beliau – bukan saya, bu”. Isteri Prof. Amir kemudian bersedia mempertemukan dirinya dengan Prof. Amir. Ia pun bertemu Prof. Amir, mereka berpelukan melepas rindu; anak didik dan mahaguru.

Beliau ternyata bersungguh-sungguh hadir di acara pengukuhan dirinya, mesti tersentak-sentak mendengar orasinya tanpa membaca teks. Isinya ‘berat’, meminta sejumlah gubernur/bupati/walikota sejagat Indonesia untuk bertaubat – kembali ke jalan yang benar …. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) …. kesehatan gratis sekedar janji politik. “Healthcare is not free, someone must pay“.

***

Pertemuan kedua yang tak kalah berkesan saat silaturahmi yang digelar para murid gemilang dari Prof A. Amiruddin dan Prof. Basri Hasanuddin untuk mengenang berpulangnya ke rahmatullah almarhumah isteri Prof A.Amiruddin dan isteri Prof Basri Hasanuddin di Makassar Golden Hotel (MGH), minggu (13/1/2013). Acara ini diinisiasi Hamid Awaluddin bersama Taslim Arifin.

Prof Amir pada kesempatan itu menyampaikan kesannya mengatakan tugas menjadi pemimpin adalah menyalurkan energy yang dimiliki sang pemimpin kepada para muridnya.

“Makanya yang paling suka berdemo, saya panggil ke rumah (Jalan Kartini No 2, rujab Rektor Unhas) dan tidak ada yang saya pecat. Meski ada satu di antaranya yang suka bikin pusing dirinya. Sambil melirik ke sudut memandai seseorang yang duduk di situ, diikuti lirikan hadiran lainnya. Senyum pun bertaburan di lantai dasar MGH, setelah mengetahui siapa dimaksud Prof. Amir.

“Tapi saya bangga, mereka semua menjadi orang”, tutup Prof. Amiruddin dengan suara parau.

***

Kampus Indonesia pernah memiliki segelintir profesor yang punya kemampuan sebagai rektor terbaik. Khususnya di era 70-an dan 80-an, saat kampus penuh gejolak. Ciri utama rektor ‘’beneran’’ setidaknya ada tiga. Kesatu, sebagai rektor dia adalah pejabat negara (di zaman Orde Baru – pejabat sangat berkuasa). Kedua, sebagai rektor ia adalah guru besar yang selalu memiliki wibawa akademik yang tinggi. Ketiga, sebagai rektor, ia adalah orangtua mahasiswa yang selalu mengayomi dan melindungi mahasiswanya.

Kombinasi ketiga ciri tersebut, hanya dimiliki oleh segelintir rektor. Mereka antara lain, Prof. Dody Achdiat Tisna Amidjaja (ITB), Prof. Mahar Mardjono (UI), Prof. Dr. A. Amiruddin (Unhas), dan Prof. Kusnadi Hardjasumantri (UGM).

Ia selalu mengikrarkan bahwa citra kampus perguruan tinggi sangat ditentukan oleh siapa rektornya. Jika rektornya adalah ‘’kambing’’, maka mahasiswanya adalah anak kambing (selalu mengembik). Jika rektornya adalah ‘’singa’’, maka mahasiswanya adalah ‘’anak singa’’.

Ciri lain dari suatu perguruan tinggi yang besar adalah corak ragam mahasiswanya. Ada yang kutu buku, mahasiswa abadi (cinta kampus), sekadar lewat lalu nikah, masa bodoh dan radikal. Jika salah satu corak ragam tersebut tidak ada, jangan berani bilang kampus perguruan tinggi tersebut kampus besar.

Kedua elemen tersebut, cinta kampus dan corak-ragam mahasiswanya, dapat ditemukenali sepanjang belantara Kampus Baraya dan Tamalanrea ketika Prof. Amiruddin menjabat Rektor Unhas selama dua periode.

***

 

Seusai acara silaturahmi dan pembacaan doa mengenang berpulangnya isteri Prof. Amiruddin dan isteri Prof. Basri Hasanuddin, ia mendapat perlakuan istimewa. Anak dan cucu-cucu Prof. Amiruddin meminta dirinya foto-bareng. Inikah suatu pertanda menyatunya anak biologis – anak ideologis Prof. Amiruddin ?!@