Konserto Tawuran Mahasiswa Unhas

 

PETAKA tawuran mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas)  selasa sore jelang senja (16/3-2023). Bentrokan berlanjut esok harinya (jumat, 17/3-2023). Sontak menggetarkan atmosfir akademik seantero kampus Unhas Tamalanrea.

Pasalnya tawuran mahasiswa Unhas nyaris tak terdengar lagi. Apalagi, dua fakultas yang bertawuran masih tergolong serumpun (agro complex).

Tentu saja banyak dosen merasa terusik, lalu memberi pandangan berdasarkan perspektif mereka terutama melalui sosmed (WAG) dan media online. Hal ini adalah suatu kecemasan nan wajar.

Polisi menjelaskan motif tawuran gegara “gengsi fakultas”. Polrestabes Makassar pun sudah menetapkan 8 tersangka. Sementara para tersangka dijerat pasal 170 KUHP- pidana pengeroyokan dengan ancaman di atas 6 tahun penjara.

Sebenarnya, jebakan aturan yang mengancam sudah diikrarkan mahasiswa sejak menginjakkan kaki di kampus seperti  tertuang pada “pakta integritas” dan “kode etik mahasiswa” Unhas. Pakta integritas malah menekankan sanksi akademik ‘amat berat’ bila terlibat tawuran.

Trauma akibat tawuran mahasiswa Unhas di masa lalu, akan kembali melekat dalam benak masyarakat Indonesia bahwa mahasiswa Unhas bangkit lagi berkonser tawuran.

Konon, tawuran di masa lalu itu menyulitkan sejumlah alumni untuk mencari pekerjaan yang kompetitif. Tentu hal ini, semakin merisaukan bagi masa depan alumni itu sendiri. !!!

MEMBACA FENOMENA

# Hilangnya Kesaktian Mahasiswa

Kodisi individu mahasiswa berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar.

Disinyalir, mahasiswa yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Artinya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya, etnis dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin kompleks.

Para mahasiswa yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah dampak yang akan ditimbulkan.

Selain itu, ketidakstabilan emosi para mahasiswa juga berkontribusi dalam terjadinya tawuran. Mereka biasanya mudah frustasi, tidak mudah mengendalikan diri, ‘cuek’ terhadap orang-orang di sekitarnya. Seorang mahasiswa biasanya membutuhkan pengakuan kehadirannya ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya. (Wisanjaya, 2014)

Nezar Patria (2022) mengemukakan terjadi perubahan pola aksi mahasiswa sekarang dengan masa lalu, dan ini nampak dan wajar karena ia mereflesikan perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia pasca-otoritarianisme.

Struktur ekonomi Indonesia di era reformasi adalah neoliberal dan itu mempengaruhi hubungan aksi mahasiswa dan sektor-sektor lainnya.

Restrukturisasi neoliberal membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel, dan tentu saja menghilangkan posisi istimewa mahasiswa di bursa tenaga kerja.Kepastian dan keamanan bekerja menjadi lebih goyah oleh model tenaga kerja outsourcing.

Dengan demikian, dalam jangka panjang, posisi sosial, ekonomi mahasiswa tidak berbeda dengan buruh biasa tanpa pendidikan tinggi.

Kegelisahan ini, seperti yang terjadi pada generasi pendahulunya, pada akhirnya membuat mahasiswa bersentuhan dengan gagasan lebih ideologis.

Kemudahan akses informasi via internet, terutama medsos saat ini, dengan cepat membuat mereka mengadopsi gagasan progresif, menggugat kemapanan elit, dan sekumpulan orang menjadi kaya tanpa peduli mayoritas rakyat miskin.

Perubahan sosial akibat dampak teknologi informasi, ketika peran sentimen menjadi lebih penting ketimbang akal sehat, dengan mudah membangkitkan gaya politik populisme. Asal berbeda dengan elit maka mudah menarik simpati dari rakyat kebanyakan.

Meskipun dalam hal ini aksi mahasiswa berbeda dengan konserto tawuran, tetapi setidaknya Nezar Patria memberikan potret derita mahasiswa kini.

Potret ini disempurnakan dengan upaya ‘pemandulan’ lembaga kemahasiswaan secara sistematik dan terstruktur di mana menggabungkan kegiatan akademik dengan aktivitas kemahasiswaan (WD 1/WR 1), mematikan arus kepemimpinan mahasiswa. Bisajadi kita bakal terharu, bagaimana birokrat kampus bidang satu melakoni  watak  spesifik bidang akademik (agak serius) dan dinamika kemahasiswaan (riang gembira).

Sebenarnya, mahasiswa lebih suka bergentayangan  di media sosial, bisa lebih “liar dan nakal” menuangkan aspirasinya. Ketimbang dikebiri berbagai aturan yang mengungkung kebebasannya.

# Potret Keluarga

Keluarga adalah tempat di mana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan di dalam keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi mahasiswa maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya.

Selain itu ketidak-harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa.

Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis  terutama pada masa mahasiswa. Jadi di sinilah peran orangtua sebagai penunjuk jalan anaknya untuk selalu berperilaku baik.

# Atmosfir Akademik

Atmosfer akademik didefinisikan sebagai nuansa lingkungan yang berjiwa akademik, yaitu sikap ilmiah dan kreatif. Pemahaman terhadap pengembangan atmosfer akademik diharapkan akan membentuk karakter mahasiswa sebagai makhluk intelektual yang berkualitas akademik [Kurniawan, 2013]

Akademisi dan budayawan mendiang Ishak Ngeljaratan dalam berbagai ruang dan kesempatan acapkali  mengemukakan pengertian dan peranan dosen sebagai ‘ pengajar’ versus ‘pendidik’.

Seorang pengajar memberikan materi pelajaran dengan sebaik-baiknya, sedangkan seorang pendidik menularkan unsur-unsur karakter baik dan positif kepada mahasiswanya.

Apa jadinya, jika kerap kita mendengar celoteh dosen :  “…… yang penting BKD/Sister aman, kewajiban dosen terpenuhi, tunjangan fungsional pun aman.”

Mahaguru mendiang Wim Poli  pernah menyimpulkan tentang apa yang hilang dalam atmosfir akademik adalah keteladanan.

Seperti kata, guru dari mahaguru Basri Hasanuddin mengutip seuntai syair lagu kebangsaan Indonesia Raya :

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya.” 

Potret kekinian dosen dan mahasiswa di kampus  bisa dikatakan tak banyak lagi berlatar keluarga yang susah, sehingga susah memahami kesusahan orang lain.

Elitisme kampus telah membingkai “borjuisme intelektual”. Hal ini menggusur perabadan kampus sebagai pusat peradaban intelektual (center of excellence).

Saat kampus berubah status menjadi  “badan usaha” (baca : badan hukum),  maka hubungan dosen-mahasiswa bisa menjelma menjadi hubungan “transaksional”. Corak transaksional berorientasi pada imbalan dan hukuman.

Kalau kita tengok ruas dan sudut fakultas maka akan kita temui “jor-joran” papan departemen dan prodi menjajal keunggulannya. Persaingan tak dapat dihindarkan, maka muncullah departemen dan prodi unggul dan berjaya. Hikmat ber-PTNBH !!!

Ada plesetan yang menyatakan UNHAS = UNiversitas HAmpir Swasta. !?!?

# IKA-UNHAS : Adako ?

Keberadaan alumni memiliki manfaat yang sangat besar bagi keberlangsungan proses berbagai hal untuk jangka panjang. Sebagian alumni memiliki posisi strategis di dalam pemerintahan, lembaga, organisasi, perusahaan, maupun di tengah-tengah masyarakat. Peran mereka inilah yang dapat bermanfaat juga untuk almamater tercinta, baik langsung maupun tidak langsung.

Setidaknya,  IKA-Unhas  melekat 3 peran penting dalam perguruan tinggi;

(1) Sebagai Katalisator (hubungan alumi dan almamater, hubungan alumni dan maba, hubungan alumni dengan masyarakat. Hubungan alumni dengan lembaga/insitutisi lain);

(2) Sebagai Kontributor (pengabdian secara moril dan materil);

(3) Sebagai Iron Stock (sebagai kader atau sumber untuk regenerasi apabila suatu saat almamater membutuhkan tenaga pengajar atau tenaga administratif.

Ada sinyalemen mengatakan bahwa selama puluhan tahun, IKA Unhas hanya menciptakan “pengikut” dan “penikmat” selain sebagai alat politik. Wallahu a’lam bishawab !

DESKRIPSI KERUMITAN 

Deskripsi kerumitan dan kedalaman persoalan kekerasan mahasiswa (tawuran) hanya dapat diurai dengan cara seksama dan menyeluruh sehingga solusi-solusi kebijakan kampus yang lebih memungkinkan dan efektif dapat ditawarkan kepada rektorat.

Selama ini, kajian-kajian tentang tawuran mahasiswa masih terbatas dan relatif dangkal. Hal ini disebabkan karena perspektif yang digunakan cenderung tunggal dan hasil kajiannya pun belum mampu beranjak hingga memberikan advokasi terhadap kebijakan kampus.

Studi Kacung Marijan  dan Hari Firianto tersebut mencoba mengeksplorasi Anatomi Kekerasan Mahasiswa Makassar melalui pendeskripsian mendalam (thick description). Untuk itu perspektif yang digunakan pun tidak hanya dari sisi korban kekerasan melainkan juga perspektif pelaku dan penonton kekerasan.

Analisa kekerasan dengan cara multi-perspektif ini akan menghasilkan gambaran tentang pola-pola dan sumber-sumber justifikasi kekerasan secara masif.

Studi Ali Sahab, Fahrul Muzaqqi berjudul Analisis Kultural-Politik Kekerasan Mahasiswa di Kota Makassar menuliskan bahwa ada beragam pendekatan, teori hingga paradigma dihadirkan untuk menjelaskan fenomena kekerasan mahasiswa (tawuran).

Akan tetapi di antara semuanya, paling tidak terdapat satu asumsi mendasar yang bisa dihadirkan, yakni bahwa mahasiswa – dalam konteks kekerasan yang seringkali melibatkan mereka – cenderung diposisikan terlebih sebagai objek daripada subjek dari kekerasan itu sendiri.

Dalam konteks ini mahasiswa bukanlah aktor utama kekerasan melainkan hanya sebagai instrumen (perantara atau media) dari aktor-aktor yang lebih besar di belakangnya, seperti alumni, kelompok kepentingan, organisasi, bahkan pemerintah.

Di sisi lain, dilihat dari ranah maupun motif kekerasan yang muncul – di samping ranah sosio-politik – salah satunya adalah ranah kultural, yakni bagaimana kekerasan itu muncul dan dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kultural sekaligus kekerasan tersebut mengultur.

Artinya, studi ini sebenarnya memiliki pra-anggapan bahwa tawuran mahasiswa yang meletup sewaktu-waktu itu tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya yang membingkai mahasiswa – sebagai bagian dari masyarakat secara umum – sekaligus juga membentuk semacam habitus kekerasan yang melazim (membatin) dalam kehidupan sehari-hari.

Jauh lebih berat, memecat seorang mahasiswa daripada menunjukkan prestasi seratus mahasiswa.

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA

 

Bukit Baruga, 9 April 2023

_________________________

Penulis adalah Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni (PD III) Fakultas Keseahtan Masyarakat (FKM)- Unhas (1995-1997); Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni (PR III) Unhas - semasa reformasi periode 1998-2001. Staf ahli Menteri Pemuda dan Olahraga R.I (2010-2013). Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan R.I. (2014-2015). 
Menulis buku Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK), Kakilangit-Prenada Media Group, Jakarta, (2015) dan 98-99 : Kesaksian Seorang Pembantu Rektor, Pustaka Pranala,Jogyakarta, (2018).

SUMBER :

I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Pemahaman Para Mahasiswa di Kota Denpasar Tentang Tindakan Kekerasan Antar Mahasiswa (Tawuran Mahasiswa) di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, 2014. https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/ID5_19730528199802100113081411842luaran-penelitian,-kekerasan-antar-mahasiswa.pdf, diakses 6 Apri 2023

Nezar Patria dalam ALDERA : Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999, penerbit buku Kompas, 2022, hal. xii-xiii

Kacung Marijan dan Hari Fitrianto, Kekerasan Mahasisswa di Kota Makasar : Studi Eksploratif Anatomi Kekerasan,https://repository.unair.ac.id/115756/1/KKB%20LP%2015%2012%20Mar%20k.pdf, diakses 6 Maret 2023.

Ali Sahab, et.al, Analisis Kultural-Politik Kekerasan Mahasiswa di Kota Makassar, http://alisahab09- fisip.web.unair.ic.id/artikel_detail-41909-Umum-Analisis KulturalPolitik Kekerasan Mahasiswa di Kota Makassar.html, diakses 6 April 2023.