Pasca Pengganyangan Cina di Makassar (1980)

Pengejaran Panjang Sang Intel

Akhirnya intel Laksusda/Pangkopkamtib-Kodam VII Hasanuddin berhasil menangkapku di warung kopi A Ling (Toko Aroma) dekat rumahku di jejeran toko pinggir Jalan Masjid Raya, setelah mengintai hampir dua minggu lamanya. Penyamaran para intel tersebut sebagai tukang becak yang mangkal di
depan warung kopi. Mereka memakai sarung lusuh dan berbajukaus oblong layaknya tukang becak hingga tak menarik perhatian orang.
Mereka telah mempelajari detail-detail khas diriku, misalnya senang memakai sepatu Adidas dan merokok 234 Djie Sam Soe serta berbaju kaus oblong, bercelana blue jeans.
Begitulah ketika suatu pagi, ketika aku berhasrat pulang kerumahku di Lorong 108 Jalan Mesjid Raya, sekitar 50 meter sebelah barat Kantor Pusat (Rektorat) Unhas. Aku lalu mengajak seorang seniorku Saleh Malawat untuk mengantarku pulang sekaligus minum kopi susu dan telur ayam kampung setengah matang di warung kopi (Warkop) A Ling (Toko Aroma). Saleh bersedia mengantarku, meski kami berdua belum sempat mandi pagi. Ketika tiba dan masuk ke Warkop A Ling, terasa ada suasana senyap, mencekam tapi aku berusaha mengabaikannya. Perlahan aku menuju kasir, memesan kopi, telur setengah matang dan rokok kretek kegemaranku.
“Nona, tolong bikin dua gelas kopi susu, dua gelas telur setengah matang masing-masing dua butir. Kasih ka’ juga sebungkus rokok 234 Djie Sam Soe,” mengurai pesananku pada nona tua (ibu
A Ling) itu. Aku kembali duduk di samping Saleh pada meja dalam Warkop A Ling, sambil menunggu pesanan kami.
Rupanya beberapa intel tersebut sudah mengamati, mengidentifikasi tingkah laku diriku. Pesanan pun tiba, aku dan Saleh mulai menikmati pesanan kopi susu, makan kue pawwa kesukaanku, mengaduk telur setengah matang sambil menuangkan garam halus dan merica secukupnya ke dalam gelas berisi telur setengah matang itu. Kurogoh kantong celanaku mengambil mecis (korek api), kemudian menyulut sebatang Dji Sam Soe. Aduhay, nikmatnya!
Tak berselang lama, salah seorang dari intel tersebut mendekatiku. “Apakah Anda Saudara Amran?” tanyanya, ringkas dan mendesak.
Spontan kujawab, “Ya, betul.”
(Sebelumnya, saat aku minta rokok Djie Sam Soe pada A chi, nona-tua pemilik warung kopi itu, A chi melakukan hal yang tak  lazim. Ia menyebut namaku agak jelas, penuh tekanan, ketika menyedorkan rokok pesananku, “AMRAN,  ini rokoknya,” seakan mempertegas kehadiran diriku di antara para intel Laksusda/Pangkopkamtibda dari Kodam XIV Hasanuddin).
Setelah intel-intel itu merasa pasti bahwa buronannya telah berada di depan mata mereka, salah seorang intel tersebut menyentak dan berusaha memegangku.
“Kalau begitu, ikut kami,” ujar salah seorang intel tak ramah, sepertinya komandan mereka.
“Mau ke mana pak?” tangkalku, meskipun aku sudah merasa pasti akan ditahan Laksusda/ Pangkopkamtib. Aku tak terkejut menghadapi suasana begini, karena sudah siap ditangkap sejak peristiwa pengganyangan toko Cina, 10-11 April 1980.
Kuingat petuah seorang seniorku di Fakultas Ekonomi Unhas, Alimin Hamdy, “Seorang pemimpin pergerakan haruslah mempertanggungjawabkan gerakannya, jika dirinya ingin memiliki gerakan itu.”
Aku digelandang setengah paksa, ternyata Saleh juga ikut digelandang. Saleh terkejut, refleks menolak dan melawan. Salah seorang intel tersebut memukul kepala Saleh dengan pantat gagang pistol … seketika kepala Saleh mengucurkan darah. Aku dan Saleh kemudian diangkut ke dalam mobil diapit beberapa intel dengan pistol tergenggam menuju markas Kodam XIV Hasanuddin (Laksusda/ Pangkopkamtib) di Jalan Jenderal Ahmad Yani.
Sesaat sebelum digelandang, aku masih sempat bergerak kilat menyelipkan beberapa “selebaran gelap” berisi pernyataan ungkapan keprihatinan Petisi 50 yang terbawa dari kampus. Saat
itu, membawa dan menyebarkan ungkapan keprihatinan atau sikap lain dari Petisi 50 dilarang keras oleh Presiden Soeharto dan antek-anteknya.

Kasman Abdullah (alm) menuturkan bahwa kamar kosnya diobrak-abrik. Buku Putih dan Indonesia di Bawah Sepatu Lars disita. Dokumen dan bacaan terlarang saat itu, karena mengungkap secara tajam dan mendalam tentang kebobrokan rezim Orde Baru.

Kami diamankan di Kodam XIV Hasanuddin bagian belakang, tempat Detasemen Intel. Saleh Malawat kemudian diobati, dijahit kepalanya yang bocor.
Aku kemudian ditanya sejauh mana keterlibatan Saleh dalam pengganyangan Cina. Kujawab: “Dia tidak terlibat, dia cuma mengantar aku pulang, dan menemani minum kopi.” Saleh pun dibebaskan.
Aku langsung diinterogasi saat itu juga dengan berbagai cara, termasuk penganiayaan fisik yang berlangsung sepanjang sore, malam, tengah malam, subuh, sampai pagi dan siang berikutnya.
Setelah interogasi dianggap cukup, aku dimasukkan ke sel tahanan Kis, beberapa meter di sisi Rutan Tahanan Militer (RTM) Jalan Rajawali. Interogasi berkali-kali, berulang-ulang itu, menghabiskan ribuan lembar kertas yang digunakan untuk memberi kesaksian, lebih tepat disebut pengakuan.
Pemeriksaan dan kekerasan yang kualami selama dua hari — dua malam tersebut ternyata terdengar dan merasakan juga keperihanku oleh salah seorang pelaku pengganyangan Cina yang
tertangkap lebih awal, Abd. Wahab Suneth.
Wahab, mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, Wakil Ketua Korkom Unhas, senior Kelompok Studi Wawasan Nusantara (Koswantara), pengasuh buletin Balance. Wahab memang sohibku. Wahab mendekam di sel Den-intel Kodam yang mengarah ke Jalan Serui, sisi belakang markas Kodam XIV Hasanuddin.
Pengejaran terhadap diriku sebagai pelaku utama pengganyangan Toko-toko Cina di Makassar dan sekitarnya, konon sudah terbentuk sejak usai pengganyangan. Beberapa mahasiswa dan massa serta seorang seniorku, sudah ditahan saat pengganyangan masih berlangsung. Mereka diinterogasi sejauh mana keterlibatan masing-masing, lalu dilepaskan. Seorang seniorku tetap ditahan, bahkan ditahan lebih lama dari aku dan Wahab Suneth. (Wahab Suneth ditahan ketika hadir memen uhi surat panggilan Laksusda/Pangkopkamtib-Kodam XIV Hasanuddin).
Dalam pengejaran diriku, aku melakukan “gerilya kota”, tak berani lagi bermalam di rumahku (Lorong Kambing 108, Baraya). Aku berpindah-pindah tempat bermalam. Pernah semalam di Hotel Raya Jalan Masjid Raya Makassar, di kamar Anwar Ali, seorang mahasiswa kedokteran semester akhir atas rekomendasi Ardani Mas Malinta, Wisma HMI Botlem, ruang studio Aula Fak. Ekonomi Unhas, Sekretariat Buletin Balance, Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Jalan Sunu. Bahkan pernah beberapa malam menginap di rumah Rudy Hoesan, sahabatku dari keluarga keturunan Cina, justru di saat gencarnya pengejaran diriku oleh Laksusda/Pangkopkamtib-Kodam XIV Hasanuddin.
Sesekali aku menerobos kembali ke rumahku, sekadar mengambil pakain dan menyerahkan cucianku, lalu bercengkerama dengan tetangga lorongku, kemudian menyusup lagi masuk keKampus Baraya melalui “jalur ular” sub-sublorong menembus sejumlah pintu rumah tetangga lorongku. Tetua lorong selalu mengingatkanku agar diriku selalu berhati-hati dan tetap tegar.
Wagon Daeng Lau, tetua tetanggaku pemilik onderdil Wagon itu suka menakar kemampuanku. “Asal dikasih bicara ji, dia pasti lolos,” meyakinkan sejumlah ibu-ibu lorong yang prihatin. Lolos maksud Daeng Lau artinya bebas dari tahanan.
Begitu pula, saat aku lolos dari “jalur ular” memasuki pintu gerbang kampus dari arah Jalan Kandea, para saptam Unhas selalu mengingatkan diriku agar lebih waspada karena terus dipantau keberadaanku di dalam kampus.

Merasa tak aman dalam pengejaran intel Laksusda/Pangkopkamtib, aku pun menerima ajakan seniorku, Syamsuri Ismail,untuk mengungsi ke desa Syamsuri, di Jampu’e, Pinrang. Hampir
sepuluh hari aku di Jampu’e. Aku merasa terproteksi di desa pantai bertambak ini, sebelum ke Jakarta mengikuti Kongres Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) di Gelanggang Mahasiswa
Kuningan, Rasuna Said.
Kongres IPMI semula akan diselenggarakan di Makassar, tetapi kondisi Makassar dinilai tidak kondusif pasca-pengganyangan toko-toko Cina, maka Menteri Pemuda Abdul Gafur menyarankan pindah ke Jakarta. Dengan catatan bahwa panitia kongres dari komponen IPMI Sulsel tetap selaku penyelenggara kongres di Jakarta. Di samping itu, “ada skenario larangan keras membuat kegiatan di luar Jawa,” kata Zohra A. Baso, ketua pelaksana Kongres IPMI di Makassar.
***
Setibaku di Jakarta, keadaan semakin genting. Masalahnya, ternyata rombongan kami menginap di Mess Kodam Hasanuddin Jalan Wijaya, Jakarta Pusat, sebelum masuk ke Gelanggang
Mahasiswa Kuningan di Rasuna Said. Di mess ini, ternyata Komandan Detasemen (Dan) intel sudah menginap sehari sebelum kami tiba seakan menunggu kedatangan kami. Ketegangan pun
semakin seru, ketika Hamid Awaluddin (Hamid “kecil”) bermain tenis meja di aula mess Kodam berhadapan Dan intel sendiri. Bagaimana caranya menegur atau menyapa perlahan nama Hamid, yang mungkin namanya sudah tercatat dalam benak Dan intel tersebut. Hamid sedikit kalut, karena pada saat peristiwa toko La’, giliran dirinya sebagai pemimpin redaksi sebuah buletin “paling
nakal”, BALANCE Pers Group (BPG), di mana isi buletin saat itu selalu mengkritik penguasa Orba. Sisa edisi khusus Buletin Balance kala itu, sempat diamankan di langit-langit salah satu kamar Wisma HMI Botlem – Makassar.
Melihat kondisi tersebut, kami secara spontan mengubah nama panggilan masing-masing, semuanya memakai nama orang Jawa. Maka selamatlah kami dari sergapan intel hingga pindah tempat tinggal dari Mess Kodam XIV Hasanuddin ke Gelanggang Mahasiswa Kuningan.
***
Di sela berlangsungnya Kongres IPMI, aku sempat menyelusup masuk ke Kampus Universitas Indonesia (UI) Rawamangun menghadiri demo kenaikan BBM. Ketika itu, di persimpangan
jalan Kampus Fisip UI Rawamangun menuju area demo, terparkir motor vespa Dono Warkop DKI merintangi jalan masuk.
Di sisi vespa putih tersebut, Dono Warkop berdiri santai.
Aku berorasi lantang menantang kenaikan BBM oleh penguasa Orde Baru, sebelum digaet seseorang bernama Ghazi Yoesoef. Ghazi, aktivis senior UI, Pengurus Besar HMI. Ghazi datang menyelamatkan diriku dari incaran intel Kodam V Jakarta Raya. Aku kemudian dibonceng Ghazi memakai motor vespa putihnya, menuju Sekretariat PB HMI, Diponegoro 16A. Konon untuk diamankan sementara. Tak lama berselang ketika terasa aman, aku kembali bergabung dengan peserta Kongres IPMI.
Kongres IPMI berhasil memilih Wikrama I. Abidin sebagai Ketua Umum IPMI menggantikan kakaknya Antony Zeidra Abidin. Sejak itu, IPMI mandek karena menolak tawaran penguasa Orba agar masuk dalam komponen KNPI. Apalagi di saat yang sama, kami yang tersisa di kampus mengharamkan KNPI
dan AMPI masuk kampus.
***
Seusai Kongres IPMI di Jakarta, aku kembali ke Makassar bersama rombongan IPMI Sulsel menumpangi Kapal Laut Tampomas II. Dalam perjalanan dua hari dua malam, mengarungi ganasnya perairan Selat Makassar, melewati Pulau Masalembo yang angker, akhirnya rombongan kami tiba di Pelabuhan Soekarno-Hatta.
Ternyata diriku telah ditunggui sejumlah intel dan aparat Komando Distrik Militer (Kodim) Makassar. Aku pun tegang, bagaimana caranya agar tidak tertangkap tangan di pelabuhan.
Dalam situasi tegang itu, aku teringat langkahku ketika “pelarian” ke Ternate saat ingin mengunjungi orangtua dan adik-adikku ditahun 1978. Kala itu aku menumpang di KM Komering perusahaan pelayaran Sriwijaya Line. Kutunggu jeda aman, terukur, lalu menyelinap ke kamar penumpang yang sudah kosong, menerobos masuk ke badan kapal melalui jendela kamar penumpang yang cuma seukuran kepala itu. Looloosss!!! Jurus yang sama, kini kugunakan meski arah sebaliknya ke luar dari badan kapal, melompat ke bibir dermaga, melalui kaca jendela kamar. Ketika rombongan kami dan penumpang lainnya menuruni tangga kapal menuju dermaga, ternyata aku berhasil melompat ke bibir dermaga tempat KM Tampomas berlabuh.
Aku lolos, tanpa hambatan.
Perlahan hatiku merasa lega untuk sementara melewati kengerian itu.
Prototipe pemuda KNPI dan AMPI saat itu dinilai produk penguasa, bagai pemuda etalase dan pemuda karbitan.
Kisah perjalanan terakhirku bersama KM Tampomas II, sebelum karam tenggelam.  Aku berjalan ke luar pelabuhan, melangkah penuh was was, diiringi keringat dingin kecemasan melangkah di tengah kerumunan penumpang bergerombol mengurusi barang bawaan mereka, di antara jejeran para penjemput, menyelinap melewati sejumlah tentara berpakaian dinas. Mungkin pula kulewati sejumlah intel lainnya yang berpakaian preman yang sejak tadi mengintaiku.
Entah berapa banyak doa yang sudah kuucapkan. Menebarkan mantra-mantra tersisa yang diwariskan kakek dan tanteku, sebagaimana diajarkan Tante Ummung, ketika meneruskan
mantra itu padaku. Aku teringat masa kecilku, sering diceritakan oleh keluarga kami di Kota Maros, bahwa kakekku I Mangutung Daeng Garra tak bakal ditemukan bila dihadang musuh-musuhnya.
Entah jurus apa yang telah kulakoni, sebagai mahasiswa yang dibesarkan di sebuah lorong kambing, bergaul di lingkungan tiga pasar, anak yang memilih ditinggal orangtua di Makassar karena
keluargaku pergi merantau di Ternate, sebagai anak pramuka yang “tak tuntas”, sebagai anak pers yang separuh menabur intelektual, separuhnya intelijen atau sebagai pasukan Resimen
Mahasiswa (Menwa) Batalion I Unhas yang belum setahun digembleng keras di Resimen Pelopor Kelapa Dua? Enntaahlah !!!
Aku hanya ingat mantra kakekku, berlindung dari seluruh penjuru bumi di balik kekuatan dashyat huruf Alif.
Ternyata, aku lepas dari penjagaan ketat itu.
***
Selepas dari Pelabuhan Soekarno-Hatta, rasa bimbang mulaimenyelimuti diriku, berpeluh kecemasan. “Mau ke mana?”
Aku serahkan langkahku pada kehendak hati. Aku memilih kediaman Mubha Kahar Muang di dekat pertigaan Pa’baeng-baeng. Mubha adalah seniorku di Fakultas Ekonomi dan HMI.
Mubha adalah Kepala Staf Komando Resimen Mahasiswa (Skomenwa) Wolter Monginsindi.
Tak lama setelah tiba di rumah Mubha, Asisten intel Kodim masuk bertamu ke rumah Mubha. Celakanya, As-intel menanyakan keberadaanku (mungkin juga sudah mengendus perjalananku
sejak lolos dari pelabuhan). Mubha meminta As-intel menunggu sebentar dengan alasan lagi di kamar mandi, padahal Mubha menyelinap masuk ke kamarnya mengingatkan aku yang lagi ngumpet di situ. Lama juga ketegangan di rumah Mubha berlangsung karena As-intel seakan curiga, tak mau beranjak. Jelang magrib As-intel Kodim pun pamit. Mubha tak dapat menyembunyikan ketegangannya. Aku lalu pamitan meninggalkan rumah Mubha.
Mubha kemudian menyisipkan duit jajan dan membeli rokok untukku.
***
Malam menemaniku melangkahkan kaki meninggalkan pekarangan rumah Mubha. Kulanjutkan perjalanan panjang tak berujung dalam gelisahku yang sempurna. Saat-saat kehidupan
keras membelenggu diriku, rasa lembut mulai menggeroti kalbuku. Aku terpaksa mengambil risiko perjalanan terbuka yang mungkin mudah dipantau intel. Berjalan dari pertigaan jalan
Bayangkara, Pa’baeng-baeng memasuki Jalan Veteran Selatan.
Memilih berjalan kaki agar mudah mengamati bila ada intel yang mendekatiku. Ini adalah romansa perjalananku, menemui seseorang, sekadar ingin mendengar dan menikmati kelembutan
suaranya. Aku bertemu Cinta. Hatiku berbunga-bunga mengalahkan was wasku dalam kejaran intel. Aku disuguhinya segelas kopi dan diberi perhatian. Rasanya, bila intel menyergapku saat
itu, aku pasrah.
Dari sudut Jalan Veteran Selatan, kulanjutkan perjalanan menuju ke Kampus Baraya. Berhati-hati, aku menyelinap masukke Kampus Baraya (jalan Kandea), lalu melangkah lagi ke Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) di Jalan Sunu. Aku akhirnya bermalam di PKM bersahabat seribu nyamuk, berselimut tikar plastik milik keluarga Daeng Lessang (penjaga PKM). Aku terjaga dalam remang lampu PKM.
Entah berapa malam tidur dalam kesendirian di PKM, hingga suatu pagi Saleh Malawat memboncengku pulang ke rumah di Lorong 108 Masjid Raya, sambil mampir dahulu di warung kopi
milik A Ling (toko Aroma) di Jalan Masjid Raya. Ternyata warung kopi itu sudah beberapa hari dikepung para intel, menanti diriku ditangkap.

Mencari Dalang Pengganyangan

Sejak aku tertangkap, langsung diinterogasi dari pagi hingga — sore hari, dilanjutkan sepanjang malam hingga dini hari. Interogasi masih berlanjut sepanjang esok harinya. Interogasi dimulai dari besarnya kerugian yang dialami akibat pengganyangan toko-toko Cina di Makassar dan sekitarnya. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab membayar kerugian itu? Mampukah diriku melunasinya? Tekan para interogator itu.
Aku juga ditanyai kedudukan formal-strukturalku dalam organisasi kemahasiswaan, peranan apa yang bisa kuambil sehubungan dengan jabatan itu? Bagaimana hubunganku dengan Ketua Umum HMI Cabang Makassar, A. Azikin Patedduri dan sejauh mana peranan Azikin dalam peristiwa Toko La’? Aku menjawabnya begini, “Aku ini kan pernah menjadi Ketua Presidium Mahasiswa Unhas (setingkat Dewan Mahasiswa) di Universitas Hasanuddin (Unhas). Ketua Presidium, semacam Presiden Mahasiswa. Karena A. Azikin itu mahasiswa Unhas jadi seperti anak buah, anggota biasa saja kalau di Unhas.” Kucoba beri alibi untuk menghindari jebakan intel melibatkan HMI.
Di tengah berlangsungnya interogasi atas diriku, tiba-tiba seorang intel datang membawa sejumlah poster dari lembaran briefcard bertuliskan tinta spidol warna-warni. Sebenarnya poster-poster itu sudah dicampakkan ke tempat sampah di depan PKM-Unhas. Ternyata poster-poster itu mereka ambil, dikumpulkan lengkap, lalu dibawa para intel Laksusda/Pangkopkamtib itu ke markasnya. Semakin terbukti, mereka suka memata-matai setiap gerakan mahasiswa di kampus. Salah satu poster itu diperlihatkan padaku. Intel itu pun membuka lebar poster tersebut lalu memperlihatkan bunyi tulisannya;
“Kamu yang tulis poster ini ?” Tanya sang intel menebak.
Kujawab singkat. “Bukan.”
“Tapi kamu tahu siapa yang buat poster ini?” Kejar sang intel.
Aku cuma terdiam.
Aku kenal corak tulisan itu, sepertinya coretan spidol seorang pemain band mahasiswa, aktivis pramuka dari Fakultas Sains & Teknologi (FST). Tulisan itu berbunyi: “Anjing, monyet, dan intel
dilarang masuk kampus.”
“Jadi kamu samakan kami dengan anjing, monyet,” lanjut sang intel berkumis tajam itu, suaranya meninggi bernada marah dan tersinggung.
Interogasi dilakukan berulang-ulang, pertanyaannya berulang-ulang. Interogasi dimulai dari suasana batin yang masih segar dan tegar, sampai titik jenuh dan menjemukan. Interogasi berlangsung sepanjang hari, dari pagi, siang, sore, malam, hingga dini hari. Interogasi berlanjut pagi berikutnya sampai menjelang dini hari. Interogasi diwarnai tekanan-tekanan bernada teror kombinasi siksaan fisik. Suara kesakitan tak bakal terdengar ke jalan raya, meski suara kami melengking tinggi. Aku berusaha menerima penzaliman itu sebagai bagian dari proses perjuangan.
“Pejuang tak boleh cengeng,” begitulah aku menghibur diriku agar tetap tegar.
Intel-intel itu seperti mengamati konsistensi jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan berkali-kali.
Di hening suasana interogasi tertulis yang melelahkan, seorang perwira intel mondar-mandir di luar ruangan tempat aku interogasi. Intel itu menyanyikan Hymne HMI, lancar dan fasih.

Bersyukur dan ikhlas
Himpunan mahasiswa Islam
Yakin usaha sampai
Untuk kemajuan
Hidayah dan taufik
Bahagia HMI
Berdoa dan ikrar
Menjunjung tinggi syiar Islam
Turut Qur’an dan Hadits
Jalan keselamatan
Ya Allah berkati
Bahagia HMI

Intel itu seakan memberi kesan bahwa dirinya juga kader HMI, tapi aku yang sudah terlatih curiga terhadap militer, menilai nyanyian perwira tersebut sebagai bagian dari seni jebakan
intelijen.
Interogasi semakin dalam, terasa lama dan melelahkan, dan tentu saja menjengkelkan. Mereka berusaha menelusuri siapa dalang dari peristiwa Toko La’ tersebut. Nama-nama seperti
H.M. Jusuf Kalla,100 seorang pengusaha pribumi ternama dan Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Prof. Ahmad Amiruddin, Rektor Universitas Hasanuddin,
disodorkan berkali-kali dalam interogasi. Intel-intel itu menanyakan keterlibatan kedua tokoh Sulsel tersebut dalam peristiwa Toko La’ yang merembes menjadi pengganyangan toko-toko Cina
di seantero Makassar. Tentu saja jawabanku tidak ada hubungannya dengan mereka berdua dalam peristiwa Toko La’. Peristiwa Toko La’ merupakan gerakan spontanitas dari rasa peduli yang
dalam terhadap penindasan kaum marginal di perkotaan, buntut dari ketimpangan sosial ekonomi antara pribumi dan nonpribumi, dan berbagai fenomena ketidakadilan lainnya.

Penantian Tak Berujung

Sel tahanan Kis sudah terisi dua orang lainnya sebelum aku dijebloskan di sel itu. Kini kami bertiga dalam sel tersebut. Kedua tahanan lainnya konon gembong Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa berafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya merupakan tahanan politik. Keduanya tertangkap saat melarikan diri dari Manado ke Kalimantan. Kedua tahanan lainnya itu, mungkin sudah setahun menghuni sel tahanan Kis. Seorang kelihatan sedikit kurus dan lainnya sedikit gemuk. Sebagaimana layaknya tahanan politik Orba, wajah mereka muram berbaur suram tapi secuil harapan.
Sebenarnya sel tahanan Kis lebih mirip gudang tak terpakai bertahun-tahun, lembab berdebu. Hanya ada satu pintu masukke sel itu, pintunya tak ada karena hanya jeruji besi tebal yang menjelma jadi pintu masuk. Persis di seberang jalan, terdapat satu pos jaga untuk regu penjaga sel tahanan Kis. Regu jaga tersebut  siaga penuh sepanjang hari dan malam dengan laras senjata panjang yang siap tembak. Tentara tersebut adalah perajurit-prajurit muda, berseragam hijau berwajah serius. Di bagian belakang sel tahanan Kis lebih tampak sebagai rimbunan pohon pisang yang tak terurus, berbatang kurus, tipis, dan berdaun hijau menguning terbelah-belah berjumbai melekat di batangnya. Di sisi lain belakang sel tahanan Kis berserakan sisa-sisa sampah dari penghuni asrama yang terbengkalai mulai membusuk. Tahanan kami bagai gudang barang, di sisi kanan dan kiri sel tahanan tertutup rapat
dengan dinding batu menjulang 4-5 meter ke tiang penyanggah bangunan.
***
Di kala sunyi dalam kelam malam, aku hanya bisa memandangi langit-langit sel tahanan Kis yang tak berplafon, mengingatkan kamar rumahku di Lorong Kambing, Lorong 108 Baraya yang juga tak berplafon beratap seng tua. Bola lampu dalamsel tahanan Kis pun cuma sebiji kira-kira 25 watt saja. Sesekali terdengar sayu irama dangdut dari siaran TVRI terpancar dari deretan rumah sempit asrama Kis.
Di sel tahanan Kis, tak ada rosban, kasur, dan bantal. Di kamar terbuka itu, cuma ada bekas pintu papan dan selembar tikar tua dari daun lontar seperti peninggalan tahanan sebelumnya.
Mungkin sel tahanan Kis tergolong “hotel prodeo” terjelek di dunia. Sel tahanan tanpa pembatas kamar sel, tanpa toilet dan westafel, tanpa kamar mandi dan sumber air ledeng, tanpa piring dan gelas, tanpa sendok dan garpu, tanpa harapan yang menanti.
Jika perlu buang air dan mandi, kami harus melibatkan penjaga militer. Kami biasanya dikawal ketat dengan laras senjata panjang mengarah ke tubuh bila ingin mandi dan buang air.
Suatu pagi, ketika baru saja terjadi pergantian penjagaan tahanan, aku uring-uringan dengan pengawalan berlebihan dari seorang prajurit jaga yang baru berganti. Prajurit itu terlalu mengarahkan moncong senjatanya ke arahku, saat mengawalku ketika ingin mandi.
Aku marah, tersinggung dan mengatakan pada tentara muda itu: “Bung, dalam sejarah perjuangan mahasiswa, belum pernah ada tahanan mahasiswa yang melarikan diri.”
Aku melanjutkan protesku sambil berdiri, sedikit tegak.
“Menjadi tahanan mahasiswa adalah suatu kehormatan.”
Aku tak ingat lagi bagaimana caranya makan selama di tahanan, dari mana sumbernya dan kapan harus makan, serta apa menu makanannya. Kalaupun ditakar-takar, seingatku makan siang hanya pada saat-saat dilakukan integorasi harian di Denintel Kodam XIV Hasanuddin. Menunya jelas, tujuh potong kecil kacang panjang, puluhan helai mie, dua-tiga genggam nasi putih disertai sedikit sambel tanpa kuah, lalu dibungkus kertas semen beralaskan daun pisang. Nasi bungkus itu biasanya di pesan pada kedai Cina di belakang kantor Den-intel Kodam, di Jalan Serui, harganya tak lebih dari Rp 120,- sebungkus.
Peristiwa Toko La’—pengganyangan toko-toko Cina di Makassar—berbeda dengan peristiwa-peristiwa gerakan mahasiswa sebelumnya. Jika berbagai gerakan mahasiswa sebelumnya, sudah diprediksi pihak penguasa, karenanya ada biaya untuk itu.
Aku tak akan berkhayal, bakal datang setiap hari pembezoekku mengantarkan masakan enak kesukaanku. Tak seorang pun dari temanku berani membezoek karena berisiko tinggi, mereka bisa langsung diciduk karena dianggap pula sebagai oknum pelaku pengganyangan toko-toko Cina. Aku ingat betul, siapa saja yang pernah datang membezoek selama dalam sel tahanan.
Dibutuhkan keberanian esktra dan tulus agar bisa datang membezoek-ku.
Suatu ketika di pertengahan masa tahananku, aku dibezoek dua “wanita perkasa”, Zohra A. Baso dan A. Niniek F. Lantara, senioritaku. Keduanya membezoek menjelang siang, saat usai interogasi berulang di markas Den-intel Kodam XIV Hasanuddin selaku Laksusda/Pangkopkamtib. Keduanya, tidak hanya membawa kue-kue dan makanan lezat tetapi juga selembar kertas jadi alas pada bingkisan makanan. Kertas itu berisikan sinkronisasi jawaban Wahab Suneth dan aku terhadap peristiwa Toko La’ yang diramu Ibrahim Tadju (Kak Bora). Kedua senioritaku itu memang bertuah, Zohra wartawan surat kabar nasional Sinar Harapan dan Niniek anak petinggi tentara pejuang yang terkenal dan disegani di Sulawesi Selatan.
Sisipan selembar kertas semen dalam bingkisan makanan itu menjadi sangat bermanfaat ketika intel-intel itu melakukan konfrontasi antara aku dan Wahab. Hal yang berbeda dialami salah seorang senior kami yang sudah dibekuk sejak awal peristiwa, ketika ingin masuk Wisma HMI Botlem. Senior tersebut dianggap kurang konsisten jawabannya dalam berbagai interogasi. Konon senior tersebut, akhirnya dibebaskan sesudah Idul Fitri, sebulan setelah aku dan Wahab dibebaskan.

Sekali waktu, aku amat terharu, ketika dibezoek dua orang temanku di sel tahanan Kis. Salah seorang dari pembezoek itu, wanita pujaan hatiku. Meski saat itu, rasa haruku sedikit terganggu lantaran yang membonceng pujaanku itu adalah Andi Paherangi, salah seorang pesaingku.
Mereka berdua hanya diizinkan tentara petugas jaga bisa menyapa sebentar, kami berdiri di pintu sel tahanan Kis yang tetap terkunci. Cinta menatapku begitu dalam, matanya yang bening mulai membasah. Cinta kemudian menyalamiku, memintaku sabar dan tetap tegar. Kelembutan sentuhan tangannya, nada suara Cinta menggetarkan hatiku, seakan mengusir lelah dalam tahanan.
Sepeninggal pembezoek-ku itu, hatiku riang dan menangis.
Aku merasa tersanjung, tapi juga merasa tersandung, ingin rasanya segera ke luar dari sel tahanan Kis.
Di kala hatinya galau dalam penantian tak berujung, di sel tahanan Kis, aku berjalan menghitung langkah seluas sel tahanan Kis, lalu berhenti di sebuah tembok. Ada spirit menempel di tembok itu, Iskandar Chotob, Lala Mustafa, al-Hilal, Aa Tarsono (Bandung), M. Shaleh dan Harun Al Rasyid (Surabaya), dan Magdir Ismail (Yogyakarta).
Tulisan pensil Achmad Ali berbunyi: “Achmad Ali ditahan bersama 200-an mahasiswa Indonesia.” Tulisan pensil Achmad Ali tak sekadar memberikan spirit bagiku, tapi lebih dari itu, aku tercurah kehormatan atas penahanan diriku. Berkali-kali kudatangi tembok itu, memandangi tulisan pensil Achmad Ali, lalu membacanya dan berusaha menghafalnya. Aku merasa tersanjung
meski terbelenggu di sel tahanan Kis. Aku kemudian memutuskan melanjutkan di bawah tulisan pensil Achmad Ali tersebut dengan tulisan pulpen menuliskan namaku disertai penjelasan
ditahan karena peristiwa Toko La’, pengganyangan Cina di Makassar, 1980.
Hari-hari sepiku nan panjang di sel tahanan Kis, kuisi dengan bernyanyi kecil, sendu, dan terputus-putus. Aku fans berat penyanyi lagu rakyat Bob Dylan, apalagi syair lagunya Blowin’ in
the Wind.

How many roads most a man walk down
Before you call him a man?
How many seas must a white dove sail
Before she sleeps in the sand?
Yes, how many times must the cannon balls fly
Before they’re forever banned?
The answer my friend is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.
Yes, how many years can a mountain exist
Before it’s washed to the sea?
Yes, how many years can some people exist
Before they’re allowed to be free?
Yes, how many times can a man turn his head
Pretending he just doesn’t see?
The answer my friend is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.
Yes, how many times must a man look up
Before he can see the sky?
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?
Yes, how many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
The answer my friend is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.

***
Terkadang di kesunyian malam dalam sel tahanan Kis, ketika kegelapan datang menggoda, seakan menyiksa batinku, rindu pada nada sendu lorongku—langgam Turatea dalam satir bahasa
Mangkasara yang melengking—irama lagu I Malokkeng Daeng Gassing, berkejaran kelincahan jemarinya memetik kecapinya sejenis Guzheng, kecapi tradisional Tiongkok. Daeng Gassing,
memetik kecapinya memakai alat bantu berupa kuku palsu yang terbuat dari tempurung kura-kura atau plastik. Improvisasi, imajinasi, dan kegusarannya pada kemiskinan abadi penghuni lorong
diekspresikan dalam iramanya, bergetar di antara ruas-ruas napas jendela rumah tetangga lorong yang terkadang bolong. Tangan kanan I Malokkeng dipergunakan untuk memainkan melodi, sedangkan tangan kiri untuk memainkan cho. Terkadang, aku sengaja mendatanginya kala ia asyik memainkan kecapinya, mendengarkan langgam ciptaannya sendiri atau entah syair darimana karena tak pernah memegang naskah lagi. Langgamnya bertema perjuangan, cinta, ketamakan, kesendirian, keputusasaan, dan keilahian. Tentu saja, di samping kecapinya selalu tersaji beberapa
botol tuak (ballo’ tala’) adonan dari Jeneponto atau ballo’ ase buatan sang istri, Daeng Bunga. Di antara keremangan kelamnya malam, ketika dingin menusuk rindu, terasa betapa jauhnya jarak
ke lorongku itu.
***
Hari-hari terakhir jelang masa tahananku, saat-saat aku dijemput dari sel tahanan ke markas Kodam XIV Hasanuddin untuk kepentingan ‘pematangan’ interogasi, para intel itu mulai terlihat lunak, sedikit santai menghadapiku. Beberapa hari berikutnya, semula bermaksud aku dijemput untuk interogasi dari sel tahanan di Kis menuju Kodam XIV Hasanuddin di Jalan Jenderal A. Yani, tetapi setibanya di ruangan Den-intel Kodam XIV Hasanuddin …. aku dibiarkan begitu saja, duduk tanpa interogasi,
bahkan mereka mulai bercanda denganku. Dalam situasi demikian itu, seorang perwira intel menyebutkan beberapa nama tokoh mahasiswa yang pernah menjadi tahanan Laksusda/ Pangkopkamtib. Perwira intel itu seakan bermaklumat: “Semua orang yang pernah ditahan di sini, biasanya jadi orang penting di kemudian hari”.
***
Tak terasa, sudah sebulan lamanya mengisi sel tahanan Kis.
Diriku semakin terbiasa dengan lingkungan sel tahanan Kis, bergumul seperti dalam gudang kumuh, berlumut tak terawat, menyemburkan bau pengap dari aroma lembab tembok-tembok tua.
Tanpa fasilitas secuil pun.
Meskipun sudah sebulan dalam sel tahanan Kis, rasanya tak pernah bercakap serius dengan kedua tahanan lainnya. Saat itu tak begitu jelas, apakah aku dilarang berkomunikasi dengan kedua anggota CGMI itu atau aku sendiri tak bernafsu bicara karena terbayang masa lalu, pertikaian HMI dan antek-antek PKI.
Seminggu setelah aku dibebaskan dari sel tahanan Kis, kudengar kabar kalau salah seorang tetangga sel tahananku telah meninggal akibat sakit paru akut menahun. Seorang tahanan
lainnya dalam perawatan serius di rumah sakit.

_______________________

Sumber : Buku Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK), Kakilangit Kencana, Prenada Group, Jakarta -2015, hal 163 –185.